Jumat, 14 September 2012

Benarkah anakku nakal?


                Sering kali orang tua menghukum anaknya atau memarahinya dengan dalih bahwa ia anak nakal. Kesimpulan ini diambil berdasarkan sudut pandang bahwa anak yang tidak taat dan tidak rapi adalah nakal dan pantas mendapat hukuman. Padahal idealnya orang tua harus berusaha memahami mengapa anak memiliki sikap-sikap itu, dan mencoba mempelajari  apa sebenarnya yang harus dilakukan terhadap anaknya.

                Para ahli menyebutkan bahwa usia 2-7 tahun adalah masa perkembangan kognitif pra-operasional,  sehingga  kesalahan yang dilakukan oleh anak dalam ranah kognitif dan dalam menentukan mana yang dapat diterima dan yang tidak merupakan sesuatu yang wajar.  Pada usia tersebut  sering kita dapati anak memecahkan perabot yang dipakai sebagai media pasar-pasaran atau yang lain. Hal itu karena ia tidak tahu bahwa barang itu dapat pecah. Atau anak sering kali terjatuh saat berlari karena ia tidak tahu bahwa keseimbangan yang ia miliki adalah penyebabnya. Atau anak tidak membereskan mainan dan sampah yang berserakan setelah bermain karena menganggap bahwa itu pekerjaan orang tuanya. Atau konflik antar teman bermain, dan lain sebagainya.
                Pada kasus-kasus di atas bukan kemarahan, hukuman dan sebutan sebagai anak nakal yang seharusnya diberikan kepada anak. Namun secara bertahap anak sebaiknya diberitahu apa yang seharusnya dilakukan agar hal itu tidak terulang kembali. Sikap anak di atas sebenarnya tidak bisa disebut sebagai sebuah kenakalan, melainkan, lebih tepat,  adalah sebuah pengalaman yang akan mengajari hal-hal baru pada anak.
Untuk mencegah konflik antar teman di kalangan anak-anak, hendaknya orang tua menyediakan alat-alat bermain (tidak harus mahal) sebagai media bagi anak untuk menyalurkan bakat dan menyibukkan diri.  Sebab biasanya sikap anak yang usil pada teman itu dikarenakan tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukannya.
                Ya, ada beberapa sikap yang harus kita waspadai sebagai tanda-tanda kenakalan untuk ditanggulangi sejak dini. Di antaranya; sering menunjukkan ketidakpatuhan, suka melanggar aturan perilaku seperti berkelahi, sulit bekerja sama, suka berbohong, menolak dengan menjerit, dan lain sebagainya.
                Untuk menanggulangi sejak dini sikap anak yang kurang baik seperti tersebut di atas, ada baiknya orang tua mawas diri. Karena bisa jadi sikap-sikap di atas muncul sebagai akibat akibat dari pola asuh yang kurang baik juga. Misalnya:
1.       Orang tua memberikan penguat negative
Ketika anak meminta sesuatu orang tua tidak memenuhinya kecuali setelah ia menangis dengan keras atau menjerit. Dengan ini anak akan terbiasa menjadikan tangisan dan jeritan sebagai senjata untuk meminta sesuatu.
2.       Adanya penguat positif
Orang tua senantiasa memberi iming-iming hadiah untuk kepatuhan anak, akibatnya anak hanya akan patuh jika sudah mendengar imbalan dari orang tuanya. Di sisi lain kebohongan orang tua dalam menjanjikan hadiah pun menjadi pemicu tumbuhnya budaya bohong pada pribadi anak.
3.       Ketidak selarasan dalam pengasuhan
Ayah dan ibu yang tidak sekata dalam pola pengasuhan juga salah satu penyebabnya. Demikian halnya ketidak kompakan antara orang tua dengan kakek-nenek jika tinggal bersama satu rumah. Akibatnya ketika salah satu melarangnya anak akan mencari orang yang melindungi dan membelanya.
                Permasalahan ini dapat diatasi dengan cara  membangun komunikasi yang baik terkait pola pengasuhan yang akan diterapkan pada anak dalam keluarga. Pastikan semua orang dalam keluarga mempunyai satu kata dalam hal yang dilarang,  yang diperbolehkan, uang jajan, dan sebagainya.
Dalam menanamkan kepatuhan hendaknya orang tua selektif saat menyuruh anak. Pilih pekerjaan yang sekiranya dapat dilakukan oleh anak, dan hindari perintah yang hanya akan membuat kesan tidak patuh karena perintahnya tidak tepat atau tidak logis. Hadiah dan hukuman juga harus seimbang dan setimpal, serta disampaikan kepada anak dengan penuh ketulusan, bukan iming-iming dan ancaman bohong. Artinya  sebisa mungkin orang tua konsekuen dengan apa yang diucapkan.
                Selain itu hendaknya orang tua menghindari ketergesa-gesaan dalam memberi label "nakal" kepada anak. Anak yang merasa dirinya tidak nakal tapi selalu disebut sebagai anak nakal oleh orang tuanya cenderung akan membuktikan bahwa ia benar-benar nakal. Namun demikian bukan berarti kita boleh terlalu permisif terhadap semua yang dilakukan oleh anak-anak.  Pola asuh yang bijak akan membuat anak kita menjadi anak baik dan bermanfaat bagi sesama.
Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah/Islam, maka kedua orang tua yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.
                Fitrah anak harus tetap terjaga, dan itu adalah tugas kita, orang tuanya.
[Dha]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar