Di saat anak kita lahir, banyak doa yang
menghampirinya agar kelak ia menjadi anak yang pintar dan shaleh-shalehah,
begitulah harapan setiap orang tua.
Banyak di antara
mereka yang berfikir sederhana, bahwa keshalehan itu akan muncul dengan
sendirinya seiring dengan bertambahnya usia, apalagi jika ia disekolahkan atau "mondok"
di pesantren, serasa lepas beban tanggung jawab pendidikan dan cukup aman
cita-cita itu akan terwujud.
Tidak ia sadari, bahwa
sebenarnya pola interaksi keluarga sehari-hari itu memiliki andil besar dalam
pembentukan kepribadian, kecerdasan dan keshalehan, meski terkesan lambat tak
terlihat tapi pasti. Kata-kata kita yang terucap untuk anak tidak hilang
berlalu, tapi menggoreskan sesuatu. Sikap dan tingkah laku kita pun
meninggalkan bekas yang akan menjadi gambaran dan sudut pandang bagi anak di
masa mendatang.
Sayangnya, besarnya
pengaruh orang tua pada pendidikan anak, selanjutnya pendidikan bangsa, tidak
banyak diketahui oleh orang tua dan calon orang tua. Pada kenyataannya, kita tidak menyaksikan adanya persiapan yang
cukup untuk menjadi orang tua. Tidak ada kekhawatiran akan salah didik yang
ternyata fatal. Semua berjalan alami dan mengalir begitu saja. Banyak orang tua
menganggap bahwa lahirnya anak adalah konsekuensi logis dari sebuah tali pernikahan,
tidak lebih. Barangkali ini salah satu faktor terbesar keterpurukan pendidikan
yang kita alami.
Bukankah setiap
anak itu terlahir di atas fitrah dan orang tualah yang membentuknya?
Keluarga adalah
sekolah pertama. Di sini anak belajar cinta dan kasih sayang, belajar berbahasa
dan melangkah, belajar merasa dan meraba, belajar karakter dan kepribadian, belajar
semua pondasi ilmu yang akan ia bangun selanjutnya.
Ibu adalah madrasah, jika engkau
mempersiapkannya maka berarti engkau telah mempersiapkan bangsa yang mulia
Ibu adalah taman, jika hujan turun menyiraminya
maka ia akan memberikan dedaunan dengan lebatnya
Ibu adalah guru dari semua maha guru, yang
karyanya mengisi seluruh ufuk dunia
Setidaknya ada 3
peran penting yang harus dilakukan keluarga untuk mewujudkan pendidikan yang
berkualitas:
Pertama, komitmen
untuk memberikan perhatian kepada anak, karena rasa aman dan nyaman merupakan
kebutuhan dasar bagi mereka. Sapaan kasih sayang, pujian yang membesarkan hati,
dorongan motivasi, kontak mata, pelukan, elusan di kepala dan semisalnya akan
menumbuhkan semangat dan sikap positif. Beda halnya ketika ia hidup dalam
hinaan, kebencian dan sikap cuek orang tua. Maka tak jarang mereka lari dari
keluarga dengan anggapan akan mendapat ganti di luar sana.
Kedua, keteladanan.
Memberi contoh adalah metode pengajaran yang terbaik, satu kali contoh bisa lebih
efektif dari pada seribu kata kosong. Bagi anak, nilai dan kepribadian adalah
abstrak, dan akan menjadi kongkrit bila dicontohkan. Anak membutuhkan
pembiasaan. Budaya bersih, jujur, berani, disiplin, budaya baca dan sebagainya
jika disaksikan setiap hari oleh anak, maka akan menjelma menjadi karakter
unggul pada pribadinya. Namun sebaliknya anak akan sulit memahami jika perbuatan
orang tua bertentangan dengan nasehat yang diberikannya. Tak ayal, Allah
mengutus Muhammad saw sebagai teladan dalam penerapan Alquran agar lebih mudah
difahami, dilihat dan ditiru.
Ketiga, komunikasi
aktif. Komunikasi yang lancar antara orang tua dan anak akan menciptakan
keakraban dan keceriaan, aura positif pun akan mengalir, demi menghasilkan motivasi
dan produktifitas. Tidak ada jurang pemisah sehingga anak akan merasa mudah
menyampaikan ide atau problem yang dihadapi, demikian pula orang tua. Konflik
keluarga banyak terjadi karena kesalahfahaman yang diakibatkan komunikasi yang
buruk. Lagi-lagi anak yang akan menjadi korban.
Saatnya doa untuk keshalehan anak bukan
sekedar angan-angan, tapi direalisasikan dengan langkah nyata. Keluarga
benar-benar menjadi taman yang dirindukan dan menjadi sekolah tempat mereka
belajar dari kita.
Wahai Tuhan kami,
berikan bagi kami dari istri dan anak keturunan kami hal yang menyejukkan mata
kami, dan jadikan kami pemimpin bagi orang-orang muttaqin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar