Jumat, 14 September 2012

PENDIDIKAN ANAK, TUGAS IBU ATAUKAH AYAH?

Banyak orang yang mengidam-idamkan hidup ditengah keluarga yang bahagia, harmonis dan sejahtera. Namun banyak diantara mereka yang harapannya tidak menjadi kenyataan kandas di tengah jalan, sehingga harapan itu tinggalah menjadi harapan semata.

Penyebab dari permasalahan ini sangat mendasar. Bukan masalah materi belaka, tetapi lebih bermuara pada hilangnya eksistensi peran dari sosok seorang ayah dan seorang ibu. Barangkali banyak orangtua yang berkeyakinan bahwa tugas ayah adalah sekedar di luar rumah mencari nafkah, sementara tugas ibu berkutat seputar urusan rumah tangga saja, seakan-akan setiap sosok ini memiliki batas teritorial tersendiri dan tabu untuk mencampuri urusannya masing-masing sehingga satu pihak merasa tidak bisa masuk ke area pihak yang lain.

Namun, Muncul lagi fenomena lain sebagai 'serangan balik' permasalahan di atas, peran ibu dan ayah menjadi terbalik, banyak sosok ayah yang melakukan semua pekerjaan rumah tangga menggantikan istrinya karena tidak mendapat lapangan pekerjaan, dan sebagai konsekuensinya ibulah yang bekerja atau meniti karir di luar rumah menafkahi keluarganya.

Fenomena lainnya lagi, dengan alasan menyiapkan biaya pendidikan untuk anaknya, ayah dan ibu sama-sama bekerja, sementara pendidikan dan semua urusan anaknya diserahkan sepenuhnya pada pembantu, baby sitter atau tempat penitipan anak.

Ketiga kasus diatas merupakan beberapa penyebab ketimpangan pendidikan pada anak yang tidak banyak disadari oleh orangtua. Kelihatannya bukan permasalahan serius, karena memang dampaknya tidak terlihat secara langsung. Tapi layaknya efek bola salju, ketimpangan pendidikan pada anak ini jika tidak segera dibenahi dari sekarang bisa menjadi salah satu penyebab kegagalan dalam pendidikan, yang berupaya menciptakan generasi
unggul, berbudi pekerti dan berprestasi untuk bangsa yang lebih baik dimasa mendatang.

Saatnya kita para orangtua kembali mengenali dan merekontruksi ulang peran dan tugas masing-masing (peran ayah dan peran ibu) agar anak bisa tumbuh dan berkembang dalam sebuah keluarga yang sehat jasmani dan rohaninya, harmonis yang sekaligus menjadi 'surga' bagi mereka.

Ayah ibarat gunung yang tinggi dan ibu ibarat lautan yang luas, masing-masing memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh yang lainnya. Demikian Allah Sang Khaliq dengan segala kehendakNya menciptakan laki-laki dan perempuan untuk saling melengkapi dan menyempurnakan.

Dalam masalah nafkah, secara umum kaum laki-laki diberi kemampuan lebih daripada kaum perempuan. Sehingga tanggung jawab ekonomi keluargapun dipikulkan kepada kaum laki-laki. Oleh karena ini pula dalam Islam warisan laki-laki dua kali lipat perempuan. Kalaupun ada talenta interpreuner pada perempuan maka hendaknya diberi porsi yang sesuai dengan kodratnya, tidak lebih. Realita yang kita temukan saat ini, yakni dibukanya peluang yang
sama dalam kerja dan karir antara laki-laki dan perempuan, mengakibatkan peningkatan angka pengangguran pada kaum laki-laki. Dan timbulah akibat, banyak anak yang kehilangan sentuhan kasih sayang dari para ibu karena tersitanya waktu ibu untuk bekerja di luar rumah. Tidak mengapa seorang ibu bekerja untuk membantu suaminya atau untuk menambah kekurangan penghasilan suaminya mengingat mahalnya biaya pendidikan anak, mahalnya
biaya hidup, namun dengan tidak melupakan kodratnya sebagai seorang wanita plus seorang ibu. Misalkan dengan membuka usaha sampingan di rumah, buka warung sembako, bisnis catering, butik, berjualan online di rumah, semua bisa dikerjakan sambil menjaga dan mendidik anak-anak mereka.

Seorang ibu memainkan peran utama dalam pendidikan anak, dia merupakan sekolah pertama dan utama, dimulai masa kehamilan, terlebih lagi pada awal masa pertumbuhan seorang anak sampai bisa mandiri sendiri. Hal ini dikarenakan seorang ibu memiliki kelembutan, ketelitian, kebersihan, kesabaran dan keuletan yang sangat dibutuhkan seorang anak. Melalui sifatnya ini ibu dapat mempengaruhi anak dalam bahasa dan perilakunya, ibu bisa mendidik dengan cara bercerita, menyanyi, bermain dan sebagainya. Kasih sayang yang
menyertai tiap tetes ASI yang mengalir dalam darah anaknya, suapan-suapan makanan dari tangan lembutnya dan setiap masakannya yang bercampur dengan cinta dan kasih sayangnya, semua perannya itu tidak dapat tergantikan oleh siapapun.

Dari sini kita bisa bayangkan dan rasakan betapa malangnya anak yang tumbuh berkembang tanpa kehadiran ibu di sisinya. Sosok ibu digantikan dengan sosok seorang pembantu yang tidak memiliki ikatan darah, dilihat dari segi pendidikan tidak memiliki dasar dalam ilmu parenting yang dibutuhkan dalam mendidik, membina dan membangun karakter anak. Tetapi banyak juga dalam kasus lain, secara lahiriyah ada seorang ibu yang merupakan seorang sarjana, memiliki tingkat pendidikan yang memadai, namun dalam kenyataannya si
ibu ini merasa 'terpaksa' dalam mendidik dan merawat anak-anaknya karena kalau saja dia diberikan pilihan antara menjadi Ibu Rumah Tangga atau menjadi wanita karir, dia lebih senang menjadi wanita karir, namun karena tidak ada pekerjaan yang diinginkannya tersebut maka, dia terpaksa menjadi ibu rumah tangga, mengurus anak dan segala urusan rumah tangga tidak dengan keikhlasan dan senang hati namun sebaliknya. Alih-alih ibu ini mempunyai konsep ‘genius’ dalam mendidik, dan menanamkan nilai-nilai, pembangunan karakter unggul pada anak-anaknya, mengerjakannya saja masih setengah hati tanpa konsep dan tanpa tujuan. Miris bukan?

Peranan yang tidak kalah pentingnya dalam pendidikan keluarga adalah pendidikan dari sang ayah. Ayah memiliki karakter-karakter yang semestinya diwariskan kepada anak dan tidak dimiliki oleh banyak ibu. Keberanian, ketegasan, kemandirian, menyukai tantangan dan sifat kuat lainnya sudah seharusnya melengkapi karakter kelembutan, kesabaran dan sifat-sifat warisan sang ibu.

Karakter kuat dari ayah ini akan dapat ditularkan pada anak jika ayah menyempatkan sebagian waktunya untuk berada bersama anaknya. Bermain, belajar, berolah raga, berpetualang, makan bersama atau bahkan mengajaknya ke tempat kerja. Di sela-sela kebersamaan ini ayah bisa meneladankan sifat kuatnya. Saat anak terjatuh misalnya, ayah dapat memupuk sifat ketangkasan dan tidak mudah menyerah atau cengeng. Tidak seperti ibu yang karena sifat lembutnya selalu menampakkan kekhawatiran dan rasa takutnya. Contoh
lainnya saat mengerjakan pekerjaan rumah tangga, ayah bisa membiasakan anak laki-lakinya untuk melatih motorik kasarnya, mengerjakan pekerjaan kasar seperti naik turun tangga, menggunakan palu atau pisau, mengangkat beban dan pekerjaan seorang ayah lainnya. Sehingga anak terlatih dan terbiasa mengerjakan pekerjaan laki-laki bukan hanya terbiasa dengan pekerjaan seperti menyapu dan bersih-bersih saja. Hal ini mengisyaratkan bahwa di samping tanggung jawab nafkah, hendaknya ada porsi pendidikan yang diberikan oleh
sang ayah.

Perpaduan antara pendidikan dari ibu dan ayah yang baik akan menghasilkan kepribadian seorang anak yang baik pula. Anak akan tumbuh menjadi anak yang bersih tapi tidak takut kotor, anak yang berani tapi tetap santun, anak yang tidak cengeng namun penuh empati.

Dengan demikian, sebaiknya setiap orangtua yang sibuk bekerja diluar rumah perlu berfikir berulang kali dan mengkaji kembali setiap keputusan dalam pendidikan anak-anak mereka. Penyerahan tanggung jawab mendidik anak kepada pembantu lebih-lebih yang tidak memiliki wawasan pendidikan merupakan suatu hal yang sangat keliru. Anak adalah anugerah sekaligus amanah, anak juga modal dari Allah yang bisa berpotensi menjadi musuh bagi
orang tuanya, namun bisa pula berpotensi mendatangkan banyak kebaikan dan ladang amal, bisa menjadi umur kedua yang penuh pahala, semuanya itu tergantung cara kita dalam mendidik merawat dan menyayangi mereka sebagaimana mestinya.

Jika anak cucu Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang senantiasa mendoakannya (Al Hadits).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar