Allah
berfirman yang artinya : "Barangkali kamu akan membunuh dirimu karena
bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada
keterangan Ini (Al-Quran)" (QS. Al Kahfi : 6).
"Sungguh
telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa
olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi
kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin"
(QS. At Taubah : 128).
Demikian
Allah menerangkan kepada kita perihal cinta yang mendalam pada pribadi Nabi Muhammad saw
terhadap umatnya. Cinta tulus seorang pemimpin kepada orang-orang yang
dipimpinnya. Sampai-sampai Abul Hasan An Nadawi berkata : "Nabi mencintai
kaumnya dengan sepenuh hatinya maka kaumnya pun memberikan seluruh kekuatan
mereka kepadanya".
Senyum
senantiasa merekah saat bertemu shahabatnya, sehingga mereka merasa orang yang
paling dicintai oleh Nabi di antara yang lain, meski setelah ditanyakan kepada
beliau tentang siapa orang yang paling dicintainya ternyata ia tidak dapati namanya. Beliau selalu ingat mereka saat rizki menghampirinya, sebagaimana yang
beliau lakukan ketika penggalian parit perang Ahzab. Beliau juga tidak
pernah menolak permintaan mereka, hingga baju hadiah seorang shahabiyah yang
sedang beliau kenakan sekalipun (HR. Bukhari).
Lebih dari itu semua satu hal yang selalu beliau inginkan untuk umatnya; keselamatan dari adzab dengan hidayah
keimanan. Allah menggambarkan kesedihan beliau dengan kesesatan dan kekafiran
umatnya dalam firmanNya : "Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; Maka janganlah dirimu
binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa
yang mereka perbuat" (QS. Fathir : 8).
Cinta suci
seorang pemimpin yang senantiasa menginginkan kebaikan untuk orang yang
dipimpinnya, tidak rela jika mereka terjerumus pada keburukan sekecil apapun.
Sampai-sampai Allah memperingatkan jangan sampai beliau meninggal lantaran
kesedihannya.
Beliau saw
telah mengajari kita bagaimana menjadikan cinta yang tulus sebuah seni tak
terpisahkan dalam kepemimpinan di samping sikap ketegasan. Siapapun kita adalah pemimpin, kita yang paling
pantas untuk meneladaninya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar