Rabu, 07 November 2012

MENGABADIKAN NILAI-NILAI KEBAIKAN DALAM IBADAH HAJI


Syariat Islam ini dititahkan oleh Allah dalam rangka pengejawantahan terhadap diri manusia agar menjadi pribadi-pribadi unggul; bertakwa kepada Allah subhanahu wata'ala. Ya, jika kita teliti ayat-ayat yang menyitir perintah ibadah itu akan kita dapati berujung pada nilai ketakwaan yang tidak lain merupakan karakter tertinggi pada manusia.

Demikian halnya dalam ibadah haji, Allah berfirman yang artinya : "(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats [mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi yang tidak senonoh atau bersetubuh], berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal".

Maka, sudah selayaknya kita mencoba menggali nilai-nilai yang terkandung dalam prosesi sebuah ibadah agar ibadah yang dilakukan dapat berfungsi ideal seperti yang Allah kehendaki. Sehingga ibadah tidak lagi berupa gerakan kosong yang tidak berbekas. Semua berakhir bersamaan dengan berakhirnya ibadah tersebut.
Ibadah haji memuat banyak sekali pelajaran nilai kebaikan yang semestinya kita abadikan dalam kehidupan pasca pelaksanaan ibadah ini. Para ulama' menyebutnya sebagai salah satu pertanda kemabruran haji seseorang. Nilai-nilai kebaikan tersebut antara lain:

Pertama: Nilai kejujuran.
Pada beberapa manasik haji kita terdidik untuk berperilaku jujur. Jujur dalam bilangan putaran thawaf, sa'i, jumlah lontaran jumrah dsb. Para jamaah haji tidak berani mengurangi bilangan itu meski tidak seorangpun mengetahui. Alangkah indahnya jika karakter ini terus melekat pada setiap pribadi sepulang haji hingga tertulis di sisi Allah sebagai shiddiq (orang yang selalu jujur). Rasulullah saw bersabda yang artinya: "Sesungguhnya kejujuran itu akan menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan kepada surga. Sungguh, seseorang akan senantiasa jujur sampai menjadi orang yang shiddiq. Dan sesungguhnya kebohongan  itu akan menunjukkan kepada kejahatan, dan kejahatan akan menunjukkan kepada neraka. Sungguh, seseorang akan senantiasa berbohong hingga tertulis di sisi Allah sebagai kadzdzab (pembohong)" (HR. Bukhari).

Kedua: Nilai kepatuhan.
Nilai ini sangat terlihat pada usaha para jamaah haji dalam menjaga diri dari larangan-larangan ihram. Tak segan mereka banyak bertanya sebelum melakukan sesuatu yang ia ragu. Motivasinya jangan sampai ihram mereka batal karena salah berbuat. Sebuah sikap yang pantas untuk dilestarikan. Kehidupan ini memiliki aturan yang jika dilanggar akan rusak tatanannya. Kita harus bertanya kepada orang yang berilmu pada saat kita tidak tahu. Dan setelah tahu kita harus mematuhi dan tunduk pasrah pada aturan yang telah Allah buat itu. Lihatlah bagaimana kepatuhan keluarga Ibrahim as terhadap perintah Allah. Kata Hajar saat ditinggal sang suami di padang tandus: "Jika Allah yang menyuruhmu maka Dia tidak akan menyia-nyiakan kami" (HR. Bukhari), dan kata Ismail as saat sang ayah memberitahukan perintah penyembelihannya: "Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, niscaya engkau akan dapati aku dengan izin Allah termasuk orang-orang yang sabar" (QS. Ashshofat : 102).

Ketiga: Nilai pengorbanan.
Orang tidak akan berangkat haji ke tanah suci tanpa pengorbanan. Pengorbanan harta untuk pembayaran ONH dan penyembelihan hady/kurban, pengorbanan waktu, tenaga dan sebagainya. Semua dijalani demi memenuhi panggilan Allah menggapai haji yang mabrur. Sifat rela berkorban yang Allah didikkan dalam ibadah haji ini diharapkan dapat langgeng dan abadi sehingga tumbuh sebuah prinsip bahwa untuk kebahagiaan di akherat berapapun harga dunia siap dikorbankan. Allah berfirman yang artinya: "Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan Itulah orang-orang yang mendapat kemenangan". (QS. Attaubah : 20).

Keempat: Nilai kesederhanaan.
Selain mengingatkan kita kepada baju kematian, pakaian ihram laki-laki adalah simbol kesederhanaan. Beberapa hari jamaah haji mencukupkan diri dengan dua helai kain untuk membalut tubuhnya, jauh dari kemewahan dunia. Allah ingin agar kita berpola hidup sederhana dalam kehidupan kita meski memiliki kemampuan untuk menyandang kemewahan. Tidak tamak dan ambisius terhadap harta dunia. Hal yang demikian ini bukan hanya teori belaka, Rasulullah saw beserta generasi salaf telah mencontohkan pola kesederhanaan yang dapat kita temukan dalam sirah perjalanan hidup mereka. Aisyah ra menceritakan bahwa pernah selama tiga bulan dapur rumah-rumah Rasulullah saw tidak mengepul dan hanya mengkonsumsi air dan kurma (HR. Ahmad). Mari kita bercermin!

Kelima: Nilai kepekaan sosial.
Berbuat kebaikan untuk orang lain terasa ringan sekali selama ibadah haji. Banyak terlihat orang berbagi minum dan makanan. Satu rombongan seakan menjadi satu keluarga, saling membantu dan meringankan beban yang lain. Ya, musim haji adalah musim pertemuan akbar umat Islam sedunia, yang digambarkan oleh Rasulullah saw laksana satu tubuh dan satu bangunan, saling peduli dan saling menopang menguatkan. Selama haji kepekaan kita diasah agar memiliki ketajaman, sehingga masing-masing kita menjadi orang yang paling bermanfaat bagi orang lain, orang yang paling dikasihi oleh Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar