Syariat
Islam ini dititahkan oleh Allah dalam rangka pengejawantahan terhadap diri
manusia agar menjadi pribadi-pribadi unggul; bertakwa kepada Allah subhanahu
wata'ala. Ya, jika kita teliti ayat-ayat yang menyitir perintah ibadah itu akan
kita dapati berujung pada nilai ketakwaan yang tidak lain merupakan karakter
tertinggi pada manusia.
Demikian
halnya dalam ibadah haji, Allah berfirman yang artinya : "(Musim) haji
adalah beberapa bulan yang diketahui, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam
bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats [mengeluarkan
perkataan yang menimbulkan birahi yang tidak senonoh atau bersetubuh],
berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa
yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah,
dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai
orang-orang yang berakal".
Maka,
sudah selayaknya kita mencoba menggali nilai-nilai yang terkandung dalam
prosesi sebuah ibadah agar ibadah yang dilakukan dapat berfungsi ideal seperti
yang Allah kehendaki. Sehingga ibadah tidak lagi berupa gerakan kosong yang
tidak berbekas. Semua berakhir bersamaan dengan berakhirnya ibadah tersebut.
Ibadah
haji memuat banyak sekali pelajaran nilai kebaikan yang semestinya kita
abadikan dalam kehidupan pasca pelaksanaan ibadah ini. Para ulama' menyebutnya
sebagai salah satu pertanda kemabruran haji seseorang. Nilai-nilai kebaikan
tersebut antara lain:
Pertama:
Nilai kejujuran.
Pada
beberapa manasik haji kita terdidik untuk berperilaku jujur. Jujur dalam
bilangan putaran thawaf, sa'i, jumlah lontaran jumrah dsb. Para jamaah haji
tidak berani mengurangi bilangan itu meski tidak seorangpun mengetahui.
Alangkah indahnya jika karakter ini terus melekat pada setiap pribadi sepulang
haji hingga tertulis di sisi Allah sebagai shiddiq (orang yang selalu jujur).
Rasulullah saw bersabda yang artinya: "Sesungguhnya kejujuran itu akan
menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan kepada surga.
Sungguh, seseorang akan senantiasa jujur sampai menjadi orang yang shiddiq. Dan
sesungguhnya kebohongan itu akan
menunjukkan kepada kejahatan, dan kejahatan akan menunjukkan kepada neraka.
Sungguh, seseorang akan senantiasa berbohong hingga tertulis di sisi Allah
sebagai kadzdzab (pembohong)" (HR. Bukhari).
Kedua:
Nilai kepatuhan.
Nilai
ini sangat terlihat pada usaha para jamaah haji dalam menjaga diri dari
larangan-larangan ihram. Tak segan mereka banyak bertanya sebelum melakukan
sesuatu yang ia ragu. Motivasinya jangan sampai ihram mereka batal karena salah
berbuat. Sebuah sikap yang pantas untuk dilestarikan. Kehidupan ini memiliki
aturan yang jika dilanggar akan rusak tatanannya. Kita harus bertanya kepada
orang yang berilmu pada saat kita tidak tahu. Dan setelah tahu kita harus
mematuhi dan tunduk pasrah pada aturan yang telah Allah buat itu. Lihatlah
bagaimana kepatuhan keluarga Ibrahim as terhadap perintah Allah. Kata Hajar
saat ditinggal sang suami di padang tandus: "Jika
Allah yang menyuruhmu maka Dia tidak akan menyia-nyiakan kami"
(HR. Bukhari), dan kata Ismail as saat sang ayah memberitahukan perintah
penyembelihannya: "Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan
kepadamu, niscaya engkau akan dapati aku dengan izin Allah termasuk orang-orang
yang sabar" (QS. Ashshofat : 102).
Ketiga:
Nilai pengorbanan.
Orang
tidak akan berangkat haji ke tanah suci tanpa pengorbanan. Pengorbanan harta
untuk pembayaran ONH dan penyembelihan hady/kurban, pengorbanan waktu, tenaga dan
sebagainya. Semua dijalani demi memenuhi panggilan Allah menggapai haji yang
mabrur. Sifat rela berkorban yang Allah didikkan dalam ibadah haji ini
diharapkan dapat langgeng dan abadi sehingga tumbuh sebuah prinsip bahwa untuk
kebahagiaan di akherat berapapun harga dunia siap dikorbankan. Allah berfirman
yang artinya: "Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di
jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya
di sisi Allah; dan Itulah orang-orang yang mendapat kemenangan". (QS.
Attaubah : 20).
Keempat:
Nilai kesederhanaan.
Selain
mengingatkan kita kepada baju kematian, pakaian ihram laki-laki adalah simbol
kesederhanaan. Beberapa hari jamaah haji mencukupkan diri dengan dua helai kain
untuk membalut tubuhnya, jauh dari kemewahan dunia. Allah ingin agar kita
berpola hidup sederhana dalam kehidupan kita meski memiliki kemampuan untuk
menyandang kemewahan. Tidak tamak dan ambisius terhadap harta dunia. Hal yang
demikian ini bukan hanya teori belaka, Rasulullah saw beserta generasi salaf
telah mencontohkan pola kesederhanaan yang dapat kita temukan dalam sirah
perjalanan hidup mereka. Aisyah ra menceritakan bahwa pernah selama tiga bulan
dapur rumah-rumah Rasulullah saw tidak mengepul dan hanya mengkonsumsi air dan
kurma (HR. Ahmad). Mari kita bercermin!
Kelima:
Nilai kepekaan sosial.
Berbuat
kebaikan untuk orang lain terasa ringan sekali selama ibadah haji. Banyak
terlihat orang berbagi minum dan makanan. Satu rombongan seakan menjadi satu
keluarga, saling membantu dan meringankan beban yang lain. Ya, musim haji
adalah musim pertemuan akbar umat Islam sedunia, yang digambarkan oleh
Rasulullah saw laksana satu tubuh dan satu bangunan, saling peduli dan saling
menopang menguatkan. Selama haji kepekaan kita diasah agar memiliki ketajaman,
sehingga masing-masing kita menjadi orang yang paling bermanfaat bagi orang
lain, orang yang paling dikasihi oleh Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar