Minggu, 29 Desember 2013

Renungan Haji 1434 H, Belajar di Rumah Ibrahim Alaihis Salam



Keluarga ayah para Nabi, Ibrahim 'alaihis salam, tidak dapat dipisahkan dari rangkaian manasik haji. Semua amalah haji sangat tersentral pada profil-profil mulia keluarga ini. Bagaimana tidak, Ka'bah yang merupakan kiblat umat Islam dan pusat putaran thawaf adalah bangunan hasil karya ayah-anak Ibrahim-Ismail 'alaihimas salam atas perintah Allah subhanahu wata'ala.


Profil keluarga Ibrahim 'alaihis salam
Dalam Al-Qur`an Allah menyematkan sifat dan karakter unggul pada kepala keluarga ini. Beliau adalah imam (pemimpin), yang khusyuk nan lurus, pandai bersyukur, santun, dan senantiasa kembali kepada Allah. Lantaran ini pula Allah memberinya gelar khalil (kekasih) dan pilihan Allah, membentangkan baginya jalan yang lurus, dan mengutus para nabi dari jalur keturunannya.
Keluarga yang baik tidak akan terwujud begitu saja. Namun harus diproses mulai dari tonggak utama, kepala keluarga. Orang yang telah berani masuk dalam jalinan pernikahan sudah semestinya ia mempersiapkan diri untuk menjadi seorang pemimpin, setidaknya untuk istri dan anak-anaknya kelak. 'Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya' demikian pepatah mengatakan. Itu berarti bahwa kita dianggap pantas berharap mendapat keturunan yang shaleh jika kita terlebih dahulu menjadi orang yang shaleh atau minimal meniti jalan menuju derajat keshalehan; Memiliki aqidah yang lurus sebagai pondasi, mendidikkan kekhusyukan beribadah sebagai tiang, dan membentengi diri dengan akhlak dan budi pekerti yang mulia, selanjutnya ia tambatkan harapan tulus kepada Allah Dzat yang membolak-balikkan hati. Kriteria ini sangat dibutuhkan oleh seorang pemimpin agar dapat menularkan hal serupa pada orang-orang yang dipimpinnya.
Yang tak kalah pentingnya dalam pembinaan keluarga adalah peran istri dan ibu. Dikisahkan oleh Imam Al-Bukhari bahwa Nabi Ibrahim `alaihissalam membawa Hajar dan Ismail ke lembah gersang nan kering, tidak ada seorangpun yang tinggal di tempat itu, tidak ada pula sumber air dan tumbuhan. Ibrahim memilih tempat di dekat Ka'bah, tepatnya sebelah atas dari sumur Zamzam. Tanpa kata-kata beliau meninggalkan istri dan anaknya yang masih bayi, hanya membekalinya dengan sekantong kurma dan seperiuk air minum. Hajar mengikutinya seraya memberanikan diri untuk bertanya, "Wahai Ibrahim, akankah engkau pergi meninggalkan kami di sini tanpa bekal cukup dan orang yang menemani?". Ibrahim pun tak menghiraukan pertanyaan itu, bahkan dengan sekedar menoleh sekalipun. Sebagai seorang wanita dalam kondisi seperti itu wajar jika ia beberapa kali mengulang pertanyaan itu, meski tidak mendapat jawaban yang melegakan, hingga akhirnya ia berkata, "Apakah Allah yang memerintahkan ini padamu?". "Ya" Ibrahim menjawab dengan singkatnya. "Jika demikian maka Allah tidak akan menyia-nyiakan kami"  tegas Hajar sambil kembali ke tempatnya.
Kalimat yang penuh makna dan bertenaga. Sebuah keyakinan yang sangat mendalam dari seorang wanita. Keyakinan bahwa jika Allah memerintahkan sesuatu maka Dia tidak akan membiarkan hamba-Nya yang bertawakal dan pasrah dalam menjalani perintah-Nya. Sebuah keteguhan dalam menunaikan titah Allah apapun resiko yang harus ditanggungnya. Simbol kesetiaan pada sang suami yang sedang mengemban tugas Tuhannya.
Hari berlalu, perbekalan semakin menipis dan akhirnya tidak tersisa sama sekali. Hajar tidak tega melihat putranya meraung kehausan. Naluri keibuannya menuntunnya naik ke bukit Shafa, barangkali ia melihat orang yang dapat menolongnya, namun harapan itu sia-sia. Ia pun turun dengan setengah lari menuju bukit Marwa. Sampai tujuh kali ia lakukan itu tetapi bantuan tak kunjung ia dapatkan. Dalam kepanikan terdengar suara, ia pikir suara hatinya namun ternyata suara Malaikat yang diutus membawa pertolongan, mencarikan sumber air dengan sayap atau tumitnya. Ya, airpun memuncrat, betapa bahagianya Hajar, dia pun segera membendungnya dan mengisi penuh tempat airnya. Inilah sejarah Sa'i antara Shafa Marwah dan awal mula air Zamzam yang diberkahi.
Hanya istri dan ibu yang memiliki karakter Hajar di atas yang dapat menciptakan sebuah keluarga surgawi dan melahirkan generasi unggul. Tenaga positifnya akan menjalar ke setiap sudut rumah dan mengisi relung hati penghuninya.
Syahdan, Ismail tumbuh dalam nuansa keimanan yang terpancar di rumah ini. Ia warisi ketegaran dan kepasrahan mutlak pada putusan Allah dari ayah dan bundanya. Hal ini terlihat jelas saat Ibrahim menyampaikan wahyu penyembelihannya. Al-Qur`an mengkisahkan yang artinya:
"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (QS. As-Shaaffat: 102).
Demikianlah profil keluarga yang selanjutnya diabadikan oleh Allah dalam rangkaian manasik ibadah haji.

Keluarga dalam sudut pandang Islam
Keluarga memang harta yang sangat berharga, tempat seseorang mencurahkan cinta dan kasih, bahtera dalam mengarungi samudera asa dan cita. Tepat sekali Allah menyebutnya dalam Al-Qur`an di antara deretan tanda kebesaran-Nya:
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa cinta dan kasih. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir". (QS. Ar-Ruum: 21).
Karena peran strategis yang dimainkannya dalam tatanan masyarakat, Islam sangat detail dalam mengatur seluk beluk keluarga yang kemudian dikenal dengan fiqih ahwal syakhsiyah. Mulai dari pra nikah sampai masalah warisan. Semua menunjukkan betapa besar tanggung jawab orang tua dalam memimpin anggota keluarganya dan membentengi mereka dari ganasnya syetan dan hawa nafsu. Ya, karena kualitas keluarga menentukan baik dan buruknya masyarakat yang ditinggalinya.
Anak adalah amanah, kepercayaan dari Allah untuk dididik menjadi insan mulia, khalifah di muka bumi. Bagaimana hakekat anak dalam Islam? Al-Qur`an menerangkannya dengan dua predikat:
Pertama hiasan. Anak memiliki predikat asal sebagai perhiasan dunia, dan bukan nilai yang menjadi ukuran keberhasilan seseorang. Sebagaimana harta, anak dapat memperindah tampilan hidup di dunia. Namun tetap saja amal shaleh pribadinya yang akan menghiasi kehidupan akhiratnya. Allah berfirman yang artinya:
"Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan". (QS. Al-Kahfi: 46).
Kedua ujian atau fitnah. Allah berfirman yang artinya:
"Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar".(QS. Al-Anfal: 28)
Ya, dengan segala hikmah-Nya Allah menguji manusia dengan kebaikan selain mengujinya dengan keburukan. Tidak memiliki anak adalah ujian, namun dikaruniai anak juga merupakan ujian yang sebanding. Melalui ujian pada titik lemah manusia ini akan diketahui mana hamba yang bersyukur dan mana pula yang kufur, siapa di antara mereka yang berani mengorbankannya untuk Allah, siapa pula yang justru mengorbankan Allah untuk mereka?
Anak terlahir dalam fithrah ibarat kertas putih, orang tualah yang akan menggoreskan pena di dalamnya. Pendidikan orang tua sangat menentukan, apakah kelak anak akan menjadi musuh atau penolongnya? Allah dengan segala kasih sayang-Nya mengingatkan kita, yang artinya:
"Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara Isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka". (QS. At-Taghabun: 14).

Pendidikan anak
Melalui ujian pada hiasan dunia yang bernama anak ini Allah menginginkan bahwa kita dapat memproses pengejawantahan anak hingga ia menjadi anak shaleh, qurrata a'yun (penyejuk hati) terutama bagi kedua orang tuanya, sebagaimana doa ibadurrahman, yang artinya:
"… Ya Allah beri kami dari istri dan keturunan kami orang yang menyejukkan hati dan jadikan kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa". (QS. Al-Furqan: 74).
Selain dengan me-wiridkan doa tulus ini patut kiranya para orang tua meniti proses pendidikan yang Allah rangkumkan dalam nasehat Luqman Al-Hakim untuk putranya yang diabadikan dalam surat yang dinamai dengan namanya, Luqman: 13-19. Pendidikan itu meliputi kisi-kisi berikut:
1.       Pemurnian aqidah tauhid dengan meninggalkan segala bentuk kesyirikan (penyekutuan Allah).
2.       Patuh dan bakti kepada orang tua selama tidak dalam kemaksiatan Allah.
3.       Prinsip dalam berteman atau dalam mengidolakan seseorang, yaitu mereka yang memiliki karakter inabah (senantiasa kembali kepada Allah).
4.       Muraqabah (selalu merasa diawasi oleh Allah).
5.       Menegakkan shalat.
6.       Keberanian dan kesabaran dalam menyerukan kebenaran dan mencegah kemungkaran.
7.       Menjauhi sifat sombong.
8.       Santun dalam sikap dan tutur kata.
Demikian nilai-nilai global yang harus ditanamkan oleh orang tua pada anak sesuai resep nabawi. Detail dan rincinya dapat kita telaah melalui sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sungguh sangat lengkap dan sudah teruji, baik tataran teoritis maupun praktis.
Dalam pendidikan anak sangat diperlukan komunikasi ayah-ibu untuk  menentukan pola pengasuhan dan stressing masing-masing. Karena ketimpangan dalam masalah ini akan berdampak buruk dalam pertumbuhan anak, terutama pada tingkat kepercayaan pada orang tua mereka. Selain itu keteladanan adalah harga mati dalam pendidikan. Tidak berlebihan, karena memang 75% proses belajar didapat melalui penglihatan dan pengamatan. Di sini kita bisa memaknai betapa sanjungan Allah terhadap Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dalam firman-Nya tidaklah sederhana, yang artinya:
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu". (QS. Al-Ahzab: 21).
Saatnya kita meneguhkan hati untuk menjadi anak berbakti untuk ayah-ibu kita dan ayah-ibu teladan untuk buah hati kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar