Keluarga ayah para Nabi, Ibrahim
'alaihis salam, tidak dapat dipisahkan dari rangkaian manasik haji. Semua
amalah haji sangat tersentral pada profil-profil mulia keluarga ini. Bagaimana
tidak, Ka'bah yang merupakan kiblat umat Islam dan pusat putaran thawaf adalah bangunan
hasil karya ayah-anak Ibrahim-Ismail 'alaihimas salam atas perintah
Allah subhanahu wata'ala.
Profil keluarga Ibrahim 'alaihis
salam
Dalam Al-Qur`an Allah menyematkan
sifat dan karakter unggul pada kepala keluarga ini. Beliau adalah imam
(pemimpin), yang khusyuk nan lurus, pandai bersyukur, santun, dan senantiasa
kembali kepada Allah. Lantaran ini pula Allah memberinya gelar khalil
(kekasih) dan pilihan Allah, membentangkan baginya jalan yang lurus, dan
mengutus para nabi dari jalur keturunannya.
Keluarga yang baik tidak akan terwujud
begitu saja. Namun harus diproses mulai dari tonggak utama, kepala keluarga.
Orang yang telah berani masuk dalam jalinan pernikahan sudah semestinya ia
mempersiapkan diri untuk menjadi seorang pemimpin, setidaknya untuk istri dan
anak-anaknya kelak. 'Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya' demikian
pepatah mengatakan. Itu berarti bahwa kita dianggap pantas berharap mendapat
keturunan yang shaleh jika kita terlebih dahulu menjadi orang yang shaleh atau
minimal meniti jalan menuju derajat keshalehan; Memiliki aqidah yang lurus
sebagai pondasi, mendidikkan kekhusyukan beribadah sebagai tiang, dan
membentengi diri dengan akhlak dan budi pekerti yang mulia, selanjutnya ia
tambatkan harapan tulus kepada Allah Dzat yang membolak-balikkan hati. Kriteria
ini sangat dibutuhkan oleh seorang pemimpin agar dapat menularkan hal serupa
pada orang-orang yang dipimpinnya.
Yang tak kalah pentingnya dalam
pembinaan keluarga adalah peran istri dan ibu. Dikisahkan oleh Imam Al-Bukhari
bahwa Nabi Ibrahim `alaihissalam membawa Hajar dan Ismail ke lembah
gersang nan kering, tidak ada seorangpun yang tinggal di tempat itu, tidak ada
pula sumber air dan tumbuhan. Ibrahim memilih tempat di dekat Ka'bah, tepatnya
sebelah atas dari sumur Zamzam. Tanpa kata-kata beliau meninggalkan istri dan
anaknya yang masih bayi, hanya membekalinya dengan sekantong kurma dan seperiuk
air minum. Hajar mengikutinya seraya memberanikan diri untuk bertanya,
"Wahai Ibrahim, akankah engkau pergi meninggalkan kami di sini tanpa bekal
cukup dan orang yang menemani?". Ibrahim pun tak menghiraukan
pertanyaan itu, bahkan dengan sekedar menoleh sekalipun. Sebagai seorang wanita
dalam kondisi seperti itu wajar jika ia beberapa kali mengulang pertanyaan itu,
meski tidak mendapat jawaban yang melegakan, hingga akhirnya ia berkata,
"Apakah Allah yang memerintahkan ini padamu?". "Ya"
Ibrahim menjawab dengan singkatnya. "Jika demikian maka Allah tidak
akan menyia-nyiakan kami" tegas
Hajar sambil kembali ke tempatnya.
Kalimat yang penuh makna dan
bertenaga. Sebuah keyakinan yang sangat mendalam dari seorang wanita. Keyakinan
bahwa jika Allah memerintahkan sesuatu maka Dia tidak akan membiarkan hamba-Nya
yang bertawakal dan pasrah dalam menjalani perintah-Nya. Sebuah keteguhan dalam
menunaikan titah Allah apapun resiko yang harus ditanggungnya. Simbol kesetiaan
pada sang suami yang sedang mengemban tugas Tuhannya.
Hari berlalu, perbekalan semakin
menipis dan akhirnya tidak tersisa sama sekali. Hajar tidak tega melihat
putranya meraung kehausan. Naluri keibuannya menuntunnya naik ke bukit Shafa,
barangkali ia melihat orang yang dapat menolongnya, namun harapan itu sia-sia.
Ia pun turun dengan setengah lari menuju bukit Marwa. Sampai tujuh kali ia
lakukan itu tetapi bantuan tak kunjung ia dapatkan. Dalam kepanikan terdengar
suara, ia pikir suara hatinya namun ternyata suara Malaikat yang diutus membawa
pertolongan, mencarikan sumber air dengan sayap atau tumitnya. Ya, airpun
memuncrat, betapa bahagianya Hajar, dia pun segera membendungnya dan mengisi
penuh tempat airnya. Inilah sejarah Sa'i antara Shafa Marwah dan awal mula air
Zamzam yang diberkahi.
Hanya istri dan ibu yang memiliki karakter
Hajar di atas yang dapat menciptakan sebuah keluarga surgawi dan melahirkan
generasi unggul. Tenaga positifnya akan menjalar ke setiap sudut rumah dan
mengisi relung hati penghuninya.
Syahdan, Ismail tumbuh dalam nuansa
keimanan yang terpancar di rumah ini. Ia warisi ketegaran dan kepasrahan mutlak
pada putusan Allah dari ayah dan bundanya. Hal ini terlihat jelas saat Ibrahim
menyampaikan wahyu penyembelihannya. Al-Qur`an mengkisahkan yang artinya:
"Maka tatkala anak itu sampai
(pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai
anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai ayahku, lakukanlah apa
yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar". (QS. As-Shaaffat: 102).
Demikianlah profil keluarga yang
selanjutnya diabadikan oleh Allah dalam rangkaian manasik ibadah haji.
Keluarga dalam sudut pandang
Islam
Keluarga memang harta yang sangat
berharga, tempat seseorang mencurahkan cinta dan kasih, bahtera dalam
mengarungi samudera asa dan cita. Tepat sekali Allah menyebutnya dalam
Al-Qur`an di antara deretan tanda kebesaran-Nya:
"Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di
antaramu rasa cinta dan kasih. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir". (QS. Ar-Ruum: 21).
Karena peran strategis yang
dimainkannya dalam tatanan masyarakat, Islam sangat detail dalam mengatur seluk
beluk keluarga yang kemudian dikenal dengan fiqih ahwal syakhsiyah.
Mulai dari pra nikah sampai masalah warisan. Semua menunjukkan betapa besar
tanggung jawab orang tua dalam memimpin anggota keluarganya dan membentengi
mereka dari ganasnya syetan dan hawa nafsu. Ya, karena kualitas keluarga
menentukan baik dan buruknya masyarakat yang ditinggalinya.
Anak adalah amanah, kepercayaan dari
Allah untuk dididik menjadi insan mulia, khalifah di muka bumi. Bagaimana
hakekat anak dalam Islam? Al-Qur`an menerangkannya dengan dua predikat:
Pertama hiasan. Anak memiliki
predikat asal sebagai perhiasan dunia, dan bukan nilai yang menjadi ukuran
keberhasilan seseorang. Sebagaimana harta, anak dapat memperindah tampilan
hidup di dunia. Namun tetap saja amal shaleh pribadinya yang akan menghiasi
kehidupan akhiratnya. Allah berfirman yang artinya:
"Harta dan anak-anak adalah
perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shaleh adalah
lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi
harapan". (QS. Al-Kahfi: 46).
Kedua ujian atau fitnah.
Allah berfirman yang artinya:
"Dan Ketahuilah, bahwa hartamu
dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah
pahala yang besar".(QS. Al-Anfal: 28)
Ya, dengan segala hikmah-Nya Allah
menguji manusia dengan kebaikan selain mengujinya dengan keburukan. Tidak
memiliki anak adalah ujian, namun dikaruniai anak juga merupakan ujian yang
sebanding. Melalui ujian pada titik lemah manusia ini akan diketahui mana hamba
yang bersyukur dan mana pula yang kufur, siapa di antara mereka yang berani
mengorbankannya untuk Allah, siapa pula yang justru mengorbankan Allah untuk
mereka?
Anak terlahir dalam fithrah ibarat
kertas putih, orang tualah yang akan menggoreskan pena di dalamnya. Pendidikan
orang tua sangat menentukan, apakah kelak anak akan menjadi musuh atau
penolongnya? Allah dengan segala kasih sayang-Nya mengingatkan kita, yang
artinya:
"Hai orang-orang mukmin,
sesungguhnya di antara Isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh
bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka". (QS. At-Taghabun: 14).
Pendidikan anak
Melalui ujian pada hiasan dunia yang
bernama anak ini Allah menginginkan bahwa kita dapat memproses pengejawantahan
anak hingga ia menjadi anak shaleh, qurrata a'yun (penyejuk hati)
terutama bagi kedua orang tuanya, sebagaimana doa ibadurrahman, yang
artinya:
"… Ya Allah beri kami dari
istri dan keturunan kami orang yang menyejukkan hati dan jadikan kami pemimpin
bagi orang-orang yang bertaqwa". (QS. Al-Furqan:
74).
Selain dengan me-wiridkan doa
tulus ini patut kiranya para orang tua meniti proses pendidikan yang Allah
rangkumkan dalam nasehat Luqman Al-Hakim untuk putranya yang diabadikan dalam
surat yang dinamai dengan namanya, Luqman: 13-19. Pendidikan itu meliputi
kisi-kisi berikut:
1.
Pemurnian aqidah tauhid
dengan meninggalkan segala bentuk kesyirikan (penyekutuan Allah).
2.
Patuh dan bakti kepada
orang tua selama tidak dalam kemaksiatan Allah.
3.
Prinsip dalam berteman atau
dalam mengidolakan seseorang, yaitu mereka yang memiliki karakter inabah (senantiasa
kembali kepada Allah).
4.
Muraqabah (selalu
merasa diawasi oleh Allah).
5.
Menegakkan shalat.
6.
Keberanian dan kesabaran
dalam menyerukan kebenaran dan mencegah kemungkaran.
7.
Menjauhi sifat sombong.
8.
Santun dalam sikap dan
tutur kata.
Demikian nilai-nilai global yang harus
ditanamkan oleh orang tua pada anak sesuai resep nabawi. Detail dan rincinya
dapat kita telaah melalui sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sungguh
sangat lengkap dan sudah teruji, baik tataran teoritis maupun praktis.
Dalam pendidikan anak sangat
diperlukan komunikasi ayah-ibu untuk
menentukan pola pengasuhan dan stressing masing-masing. Karena
ketimpangan dalam masalah ini akan berdampak buruk dalam pertumbuhan anak,
terutama pada tingkat kepercayaan pada orang tua mereka. Selain itu keteladanan
adalah harga mati dalam pendidikan. Tidak berlebihan, karena memang 75% proses
belajar didapat melalui penglihatan dan pengamatan. Di sini kita bisa memaknai
betapa sanjungan Allah terhadap Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam
dalam firman-Nya tidaklah sederhana, yang artinya:
"Sesungguhnya telah ada pada
(diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu". (QS. Al-Ahzab: 21).
Saatnya kita meneguhkan hati untuk menjadi
anak berbakti untuk ayah-ibu kita dan ayah-ibu teladan untuk buah hati kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar