Rabu, 19 Mei 2010

Pesantren, kembalilah!


Pesantren...

Sebuah tempat yang sakral,

gudang ilmu,

tempat pembentukan karakter,

simbol kesucian,

desirnya adalah lantunan Al Qur'an,

identik dengan kebersihan,

baik tempat, hati dan perbuatan...


Tapi, mari kita jujur melihat fenomena pesantren pada umumnya saat ini. Seakan identitas pesantren itu telah hilang bersama keteledoran kita sebagai pengelola..

Coba kita simak cuplikan kisah yang memilukan dari buku "Sorban yang terluka" berikut ini..
"Di tahun pertama, aku mulai sedikit mengerti

tentang dunia pesantren. Suatu hari, selepas acara

muhadzaroh1 (latihan pidato) pada malam Jum’at

yang diikuti oleh seluruh santri, aku merasa letih sekali.

Aku merasa pusing, sangat mengantuk, dan badan terasa

meriang. Mungkin karena sudah seharian aku mengikuti

kegiatan. Sebab kalau hari Kamis, santri disibukkan dengan

berbagai macam kegiatan. Kamis pagi, para santri masuk

kelas sampai waktu dzuhur. Selepas makan siang ada acara

latihan pidato bahasa Arab. Ba’da ashar, masih ada latihan

pramuka. Malamnya, selesai shalat isya’, para santri masih

mengikuti acara latihan pidato bahasa Indonesia.

Tepat jam 9.30 malam, aku mulai membaringkan

badan di atas lantai yang hanya beralaskan karpet. Aku tidur

nyenyak sekali. Paginya, sebelum adzan subuh, aku sudah

dibangunkan oleh suara pengurus bagian peribadatan.

Tentu agar santri segera bergegas ke masjid karena sebentar

lagi sudah waktunya shalat subuh. Tetapi, aku kaget. Aku

merasa di kedua pahaku ada banyak cairan. Karena masih

baru bangun tidur, aku belum sadar apa sebenarnya cairan

itu. Apakah aku tanpa sengaja buang air kecil saat tidur?

tanyaku dalam hati. Namun, mana mungkin aku tanpa

sengaja buang air kecil saat tidur. Tidak mungkin itu terjadi

karena aku membiasakan buang air kecil sebelum tidur.

Cairan itu sampai membasahi kedua pahaku dan kain

sarung yang kupakai waktu tidur. Beberapa saat kemudian,

setelah aku betul-betul sadar, aku baru tahu kalau cairan

itu adalah sperma. “Apakah aku mimpi basah?” Ah, rasanya

aku tidak mimpi basah. Cairan ini bukan spermaku. Ya,

ini bukan spermaku.

Karena salah seorang pengurus bagian peribadatan

menyuruhku cepat-cepat ke masjid, aku pun tidak menghiraukan

itu, meskipun hatiku sebenarnya sangat penasaran.

Paginya aku menceritakan apa yang aku alami

pada salah seorang kakak kelasku. Dia santri kelas dua.

Hanya selisih setahun denganku.

“Ya akhi, kamu pernah mengalami kejadian aneh

nggak saat bangun tidur?”

“Kejadian aneh bagaimana maksud kamu? Kamu

jangan mengada-ada! Di pesantren ini tidak ada cerita

tahayul,” sambil sedikit tersenyum ia menjawab pertanyaanku.

Tampaknya dia menganggap aku hanya mau

bercanda dengannya.

“Bukan itu maksudku. Tadi malam saat bangun tidur,

di pahaku banyak cairan.”

Spontan temanku itu tertawa terbahak-bahak. Aneh

pikirku, apanya yang lucu. Malah justru santri itu semakin

tertawa-tawa.

“Semalam kamu tidur pasti pake sarung ya?”

“Iya! Memangnya mengapa kalau pake sarung?”

“Saat kamu tidur, kamu tidak merasakan apa-apa sama

sekali?”

“Tidak. Aku capek. Makanya aku tidur sangat nyenyak.”

“Kamu itu telah dihomo.”2

“Maksudmu apa?”

“Tadi malam ada seseorang yang telah melampiaskan

nafsunya padamu. Orang itu sudah tidak tahan untuk

melakukan seks. Karena tidak ada lawan jenis, sebagai pelampiasannya,

kamu dijadikan gantinya.”

“Kurang ajar. Siapa yang berbuat begitu padaku?”

“Alah, tidak usah dipikirin! Kejadian seperti itu sudah

lumrah terjadi di pesantren. Itu baru yang pertama kamu

alami. Biasanya kamu akan mengalami kedua kalinya. Dan

memang yang sering dijadikan pelampiasannya pasti para

santri baru, karena mereka belum tahu apa-apa. Aku juga

pernah mengalami sesuatu yang tak pernah terbayangkan.

Seorang santri senior, melecehkan aku secara seksual. Ia

memasturbasi diriku saat aku tidur. Aku berontak. Tapi

ancamannya—santri senior punya kekuasaan untuk menghukum—

membuat aku diam. Dan kejadian itu berulang.

Ia bahkan mulai berani mengoral aku, dan terakhir menyodomiku.”

“Kira-kira kamu tahu siapa orangnya yang berbuat

seperti itu padaku?”

“Tentu aku tidak tahu pasti siapa yang melakukan itu.

Tetapi, siapa lagi kalau bukan santri yang senior, terutama

mereka yang sudah menjadi pengurus. Kalau santri yang

belum menjadi pengurus, tidak akan berani berbuat seperti

itu. Soalnya dulu sudah ada salah seorang santri yang diusir

gara-gara menghomo santri baru. Memang pelampiasan

itu biasa dilakukan malam Jum’at. Karena kegiatan santri

sangat padat siang sebelumnya. Malamnya, sang korban

yang menjadi palampiasan sulit bangun saat digituin karena

sangat letih. Makanya, kalau tidur pake celana biar sulit

dibukanya, atau paling tidak kamu pasti akan bangun.”

“Aku tidak terima diperlakukan seperti itu. Memangnya

aku perempuan yang bisa dijadikan pelampiasan nafsu

laki-laki. Aku benci orang itu.”

“Ya apa boleh buat. Di sini kan pesantren. Dan di pesantren

mana pun, praktik seperti itu sudah dianggap

lumrah.”

“Benarkah sampai begitu?”

“Ya, masih banyak yang belum kamu ketahui. Lain

kali hati-hati! Tetapi, kayaknya kamu perlu bersyukur.”

“Bersyukur bagaimana maksud kamu? Aku saja tidak

rela dengan kejadian ini. Mana mungkin aku bersyukur!”

“Kalau kamu dihomo, itu menandakan bahwa kamu

termasuk orang cakep. Biasanya orang yang tipe begituan

sukanya dengan orang yang cakep saja. Nah, kamu untung.

Berarti kamu cakep.”

“Jangan ngawur!”

“Ya maaf, pesanku hanya itu. Lain kali hati-hati.

Orang itu biasanya akan mengulangi kedua kalinya.”

Mendengar keterangan kakak kelasku itu, aku mulai

ragu-ragu dengan dunia pesantren. Padahal aku masih

belum genap satu tahun di pesantren. Rasanya ada banyak

sisi pesantren yang tidak aku sangka sebelumnya. Mungkin

perlu waktu panjang untuk mengetahui semua yang

terjadi di pesantren. Kejadian yang menimpaku malam

itu jelas masih mengganjal hatiku. Benarkah pelampiasan

seksual pada sesama jenis telah menjadi budaya di pesantren?

Obrolan singkat dengan kakak kelasku masih

terngiang di telinga. Rasanya sangat naif bila di dalam lembaga

pendidikan agama seperti pesantren ada budaya yang

“menjijikkan.” Apalagi temanku sampai mengatakan,

masih banyak yang belum aku ketahui di pesantren.

Aku memegang erat nasihat kakak kelasku. Minggu

berikutnya aku berhati-hati betul. Aku pun memakai celana

waktu tidur sebagaimana anjuran temanku. Apalagi dia

mengatakan rawannya pelampiasan seks itu pada malam

Jum’at karena santri sudah lelah dengan kegiatan seharian.

Aku masih tetap penasaran dengan kejadian yang menimpaku

malam itu. Makanya, meskipun aku sebenarnya

letih, aku tetap bertahan untuk tidak terlelap tidur. Sebenarnya

aku tidak ada niat untuk berbuat balas dendam.

Aku hanya penasaran dengan kejadian semacam itu.

Ruangan kamarku sudah gelap gulita. Tampaknya

seluruh teman sekamar sudah mulai terlelap. Suasana

pesantren semakin sunyi. Tidak ada suara gemuruh sebagaimana

di siang hari. Hanya ada beberapa orang yang

suaranya terdengar dari luar kamar. Suara-suara itu adalah

santri yang bertugas berjaga malam. Petugas penjaga

malam disebut haritsul laili.3 Santri-santri yang ditunjuk

menjadi penjaga malam adalah yang sudah bermukim

lebih dari dua tahun di pesantren. Jadi, aku dan kakak kelas

satu tahun di atasku masih belum dapat menjadi penjaga

malam.

Teman-teman sekamarku tampaknya mulai menikmati

mimpi-mimpi yang menghiasi tidur mereka. Karena

gelap, aku sudah tidak tahu waktu menunjukkan jam

berapa. Meski aku sudah mulai mengantuk, aku tetap

menahan rasa kantukku. Aku penasaran, siapa tahu malam

ini ada santri senior yang ingin melampiaskan nafsunya

pada sesama jenis.

Malam semakin larut. Di antara sadar dan tidak, karena

aku sudah sangat mengantuk, aku merasa ada yang

membuka pintu. Ada seseorang yang masuk ke kamarku.

Aku sudah mulai curiga. Aku terkejut. Aku merasa secara

perlahan-lahan ada tangan yang ingin membuka sarungku.

Meraba-raba pahaku. Dan sesekali mencium pipiku.

Sengaja kubiarkan tangan itu membuka sarung yang

kujadikan selimut tidurku. Tetapi, tampaknya tangan itu

kesulitan karena aku masih mengenakan celana panjang.

Tangan itu sudah mulai berani berusaha keras membuka

celanaku. Beberapa saat kemudian, secepat kilat aku langsung

memegang tangan itu. Seketika pula aku langsung

bangun dari tidur.

“Kamu siapa? Mau apa datang ke sini?” Masih dalam

kegelapan, aku mencoba ingin tahu siapa sebenarnya orang

itu. Tetapi, tampaknya dia tenang-tenang saja. Aku semakin

heran.

“Aku pengurus bagian penerangan. Kamu tidur saja.

Aku hanya mengontrol.”

“Lalu mengapa tadi kamu membuka sarungku?”

“Aku hanya merasa kesepian. Dan kamu mungkin

tahu apa maksudku. Jadi, aku minta maaf. Lain kali aku

tidak mengulangi lagi padamu.”

Aku semakin heran dengan orang itu. Tampaknya ia

tidak merasa bersalah. Bahkan sikapnya sangat dingin, seakan-

akan tidak berbuat apa-apa. Padahal, menurutku

seharusnya dia merasa malu karena niat jahatnya ketahuan.

“Malam Jum’at yang lalu kamu sudah berbuat seperti

ini padaku kan?”

“Aku minta maaf. Aku tahu kalau aku salah. Aku berani

berbuat seperti itu karena kamu aku anggap masih belum

berani melawan. Tapi tampaknya aku salah.”

“Aku akan melaporkan kamu ke ustadz.”

Tapi, tampaknya omonganku tidak ia hiraukan. Justru,

dia malah tertawa. Aku tambah marah dibuatnya. Orang

yang jelas-jelas mau berbuat jahat padaku, malah menertawakanku.

“Mengapa kamu tertawa?”

“Aku tertawa karena kamu mau melaporkan aku ke

ustadz.”

“Memangnya mengapa?”

“Kalau kamu mau melaporkan santri yang berbuat

seperti itu, seharusnya bukan cuma aku. Terlalu banyak

santri senior yang berbuat seperti itu. Di pesantren, perbuatan

seperti itu sudah lumrah. Dan kamu harus ketahui,

yang menghomo kamu minggu lalu bukan hanya satu

orang.”

Sambil tertawa sinis, dia meninggalkanku. Kamarku

masih dalam keadaan gelap.

Aku semakin terkejut dengan kata-katanya. Mengapa

praktik homoseksual dianggap lumrah di pesantren?

Mungkin karena di lingkungan laki-laki, ini bagian dari

eksperimen seksual, sebab eksperimen dengan perempuan

bisa terkena sanksi yang luar biasa. Namun, itu menurutku

bukanlah alasan yang tepat untuk membenarkan homoseksual.

Bukankah agama melarang orang melakukan

perbuatan itu?

Apa yang sebenarnya terjadi di dunia pesantren? Lagilagi

pertanyaan itu mulai terngiang di benakku. Aku mulai

ragu-ragu dengan pesantren yang disanjung-sanjung oleh

kedua orangtuaku. “Jika aku terus diperlakukan seperti ini,

lebih baik aku pulang saja ke rumah”, demikian sempat

terlintas dalam pikiranku. Sebenarnya, kejadian ini aku

adukan dengan kakak senior lain, di saat berbelanja keper

luan sehari-hari di KOPTI (Koperasi Santri). Tetapi, aku

malah diminta diam saja, dan menghindar.

Setelah kejadian itu berlalu, aku mengadu pada Aba

dan Umi di rumah. Aba dan Umi menyarankan untuk

bersabar. Menurutnya, itu hanya cobaan bagi orang yang

menuntut ilmu. Suatu saat pasti akan ada hikmahnya. Aku

pun mengikuti sarannya. Apa boleh buat. Aku hanya santri

junior yang tidak bisa berbuat apa-apa.

Setelah dia tak lagi melecehkanku, baru kuketahui,

teman-teman sekelasku yang lain juga pernah mengalami

hal yang sama. Dan di luar dugaan, ternyata praktik homoseksual

telah menjadi “kebutuhan”4 santri di pesantren.

Oleh karena tidak ada lawan jenis yang dapat dijadikan

pelampiasan, laki-lakilah yang menjadi sasarannya. Yang

lebih mengerikan lagi, ada homoseksual yang dilakukan

dengan dasar suka sama suka. Jadi, pelakunya tidak perlu

menunggu mangsanya tidur terlelap. Cukup dengan mencari

waktu dan kesempatan. Yang dihomo cukup dipenuhi

saja kebutuhan sehari-harinya di pesantren, pasti dia mendapatkan

“jatah.”

Hampir setiap malam ada saja sepasang laki-laki yang

sedang mabuk asmara menikmati indahnya cinta kasih

sayang sesama jenis. Bagi yang tidak memiliki pasangan,

santri yang sudah terlelap tidur menjadi sasaran pelampiasan

nafsu. Kejadian semacam itu biasa terjadi di kelas,

kamar, aula, kamar mandi, bahkan ruang pertemuan.

Santri yang kelihatan tampan, pasti sudah ada yang punya.

Artinya, di pesantren juga terjadi penyaluran nafsu yang

tidak halal. Lantas, apa bedanya dengan di lokalisasi?

Selama ini, masyarakat mengenal dunia pesantren

sebagai lembaga yang sangat lekat dengan nuansa agama.

Setiap hari, tidak sesuatu pun dikerjakan santri pesantren

selain belajar agama. Setiap pagi, siang, sore, hingga malam

hari, kegiatan yang dilakukan di pesantren selalu berkaitan

dengan pendalaman agama, akhlak, akidah, maupun etika.

Tentu saja, kegiatan mengaji al-Qur’an, shalat berjamaah

di masjid setiap lima waktu, shalat tahajud, shalat dhuha di

pagi hari, adalah rutinitas yang selalu dijalankan santri setiap

hari.

Tetapi di luar semua itu, tidak ada yang menyangka

jika di balik nuansa religius pesantren, terdapat banyak kejadian

yang justru melenceng jauh dari ketentuan agama

Islam. Bagaikan di sebuah tempat memadu kasih, pesantren

sering dijadikan tempat untuk menyalurkan hasrat libido

santri pada santri lain yang sesama jenis. Jika di lokalisasi,

transaksi seksual harus mengeluarkan duit sesuai kesepakatan

antara penjual dan pembeli, di pondok pesantren

justru kegitan seksual dijalankan secara sembunyisembunyi

dan umumnya dilakukan di tengah malam

ketika “korban” sedang tertidur lelap.

Mengejutkan memang, praktik seksual di pondok

pesantren dilampiaskan antarsesama jenis kelamin. Praktik

homoseksual di kalangan santri sangat sulit dihilangkan

karena pelaku sangat cerdik dalam menjalankan aksinya,

di luar pengetahuan orang lain. Tradisi ini dilestarikan

secara turun-temurun hingga kini. Barangkali, tidak semua

orang di luar pesantren menyadari kenyataan semacam

ini. Sehingga image yang muncul di benak publik tentang

pesantren selalu diasumsikan sebagai tempat yang “suci.”

Kesucian pesantren hanya terletak pada dzat-nya, yaitu

hakikatnya sebagai lembaga keagamaan yang mencetak

manusia berakhlak mulia. Tetapi, banyak santri yang menyalahi

hakikat itu.

Jangankan masyarakat di luar pesantren, santri yang

hidup di dalam pesantren sekalipun terkadang belum

mengetahui sepenuhnya tentang dunia gelap pesantren

secara keseluruhan. Para orangtua santri yang menyekolahkan

anaknya di pesantren, mungkin tidak menyadari

bahwa anaknya sering dijadikan korban pelampiasan

seksual sesama jenis, atau bahkan pelaku pelampiasan seks

antarsesama jenis.

Bagi orang yang pernah nyantri di pesantren, persoalan

homoseksual bukanlah hal aneh. Hanya saja, memang ada

perbedaan antara pesantren zaman dulu dengan pesantren

modern. Meskipun pernah hidup di pesantren, tetapi

pesantren klasik, tidak menutup kemungkinan ia belum

mengetahui seluk-beluk dunia pesantren sebagaimana

yang terjadi dewasa ini".


Sungguh, sebuah fenomena yang tidak boleh kita anggap remeh. Bagi kita pengelola pesantren atau sekolah berasrama tanpa ikhtilath (bercampur laki-laki dan perempuan) mesti ada pengamanan ekstra ketat berkaitan dengan hubungan tidak normal ini. Jangan sekali-kali kita anggap itu mustahil terjadi di lingkungan yang menjunjung tinggi Al Qur'an dan hadits. Cek dan pantau. Kita harus waspada sebelum hal itu dianggap lumrah oleh penduduk pesantren, na'uudzu billah min dzalik

Berikut ini beberapa langkah sebagai upaya menyelesaikan permasalahan ini:
1. Ruang kamar disetting agar mudah diakses dari luar, tidak tertutup. Dianjurkan bagian depan berkaca supaya bagian dalam kamar terlihat meski hanya dengan melintas di depannya.
2. Kita waspadai kedekatan dua siswa yang berlebihan. Biasanya ditandai dengan seringnya duduk berduaan, tidak banyak berteman dengan yang lain, surat-menyurat padahal tiap hari bertemu, ada sikap cemburu bila ia berjalan dengan orang lain kemudian berlanjut ke sikap marah.
3. Sesegera mungkin kita mengambil sikap jika tanda-tanda itu muncul. Mendekat dengan keduanya secara terpisah, kita mencari keterangan, klarifikasi dan dianjurkan tidak  dengan bahasa sindiran. Sampaikan dengan terbuka prasangka kita terhadap kejanggalan sikap.
4. Pisahkan kamar mereka jika sebelumnya berada dalam satu ruang, tempatkan orang yang dapat dipercaya untuk memantau kamar itu, atau bahkan tinggal dan tidur di ruang mereka.
5. Terkadang pelaku menganggap itu bagian dari persaudaraan karena Allah. Tidak, itu adalah bisikan syetan yang menghiasi dosa. Berikan pemahaman yang benar tentang ukhuwwah fillah, melalui kajian atau pendekatan personal. Berikan motivasi untuk bertaubat dari perbuatan keji itu dan menyudahinya sekarang juga dan tidak menunda.
6. Bagian-bagian terkait di pesantren itu harus satu kata untuk menyelesaikan masalah ini.

Sebuah harapan besar, pesantren kembali ke fungsi penggemblengan budi pekerti dan akhlak mulia, bukan sebaliknya. Allah bersama kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar