Tidak ada
yang memungkiri bahwa guru menempati posisi yang krusial dalam pendidikan.
Semakin baik kualitas guru, maka semakin baik pula pendidikan yang akan
dihasilkan. Kualitas yang dimaksud tidak hanya ditilik dari prestasi
akademiknya, strata pendidikannya, bukan pula dilihat dari banyak sedikitnya sertifikat
pelatihan yang diikutinya. Karena ternyata tidak ada jaminan bahwa pendidikan
yang tinggi dapat melahirkan guru visioner.
Dalam
kehidupan manusia, niat dan kemauan memiliki pengaruh yang luar biasa. Termasuk
pada pribadi guru. Kemauan inilah yang akan menyetir ke arah mana pendidikan
akan ia bawa, seperti apa pola pengasuhan yang akan ia terapkan.
Nabi
Muhammad saw telah mengungkap hal ini 14 abad yang lalu. Ya, segala tindak dan
langkah sangat tergantung pada niat hati. Tingkah laku raga dimulai dari jiwa.
Hati atau jiwa sangat menentukan. Jika baik, maka raga pun akan terbimbing
menuju kebaikan, begitu pula sebaliknya.
Kemauan
adalah motor penggerak, kita tidak bisa membayangkan jika seseorang hidup tanpa
memiliki kemauan dan keinginan. Ia pasti akan terombang-ambing hanyut dalam
arus lingkungan di sekitarnya, tidak punya pendirian ibarat air di daun talas.
Iya kalau kebetulan lingkungannya baik, apa jadinya jika sebaliknya.
Tak terkecuali
bagi seorang pendidik, kemauannya akan tercermin dalam sikap dan caranya dalam
mendidik. Dan perlu diketahui bahwa siswa dapat merasakannya. Semangat guru
yang memiliki kemauan dapat menembus relung hati siswa. Mereka merasa
nyaman berada di sisinya, ada rasa rindu
untuk bertemu dengannya, semangatnya pun menular dan secara pelan namun pasti merambah
dalam dirinya.
Guru sejati
bukanlah robot yang hanya melakukan aktivitas pengajaran sesuai perintah
pimpinannya, tidak lebih. Kalau tidak di suruh, ia akan terdiam membisu, sama
sekali tidak memiliki kemauan untuk mengasah diri , meningkatkan kemampuan,
atau belajar dari keberhasilan orang lain dalam mengajar. Di luar pengajaran ia
lebih memilih sibuk dengan dunianya sendiri , tidak mempunyai inisiatif untuk
melakukan sesuatu demi kemajuan muridnya, tidak pernah tebersit untuk mencari
inovasi dalam pembelajarannya, tidak pula terdorong untuk memberi masukan untuk
lembaga tempat ia mengajar, alih-alih mempunyai kepekaan terhadap pekerjaan
teman selembaganya. Hati sudah tidak berfungsi lagi, perasaan pun seakan sudah
mati.
Manusia
telah dicipta dengan dibekali hati dan akal agar digunakan untuk meyakini dan
berpikir. Artinya, jika keduanya tidak difungsikan sebagaimana mestinya, maka
perlu dipertanyakan kemanusiaannya. Kita harus memiliki keyakinan, kemauan,
cita-cita, dan ambisi yang baik sebagai bentuk penjagaan hati agar tetap hidup
dengan sehat. Manusia harus berpikir, menganalisa, dan mengamati supaya akal
ini menjadi tajam, cepat tanggap, dan kuat.
Mengajar
dan mendidik adalah pekerjaan mulia, misi kerasulan Muhammad saw. Sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ada
orang bijak mengatakan, “Jika engkau ingin bahagia dalam satu hari, maka
buatlah pesta. Jika engkau ingin bahagia dalam satu bulan, maka rencanakan
piknik liburan. Jika engkau ingin bahagia dalam setahun, maka buatlah kebun.
Dan jika engkau ingin bahagia seumur hidup, maka didiklah manusia.” Ya, karena
dengan mendidik berarti kita telah menebar kebaikan, dan selama kebaikan itu
dilaksanakan selama itu pula kebahagiaan akan menyelinap masuk ke dalam
sanubari kita. Maka tak heran bila Rasulullah saw sang mahaguru adalah orang
yang paling bahagia di dunia ini, karena tidak ada kebaikan kecuali ada andil
beliau di dalamnya.
Sangat
nista bila pekerjaan mulia ini dikotori dengan ambisi duniawi murahan. Mengajar
dan mendidik karena motivasi materi belaka. Orang seperti ini akan selalu
mengukur tugas dan pekerjaannya dengan ukuran untung dan rugi dari sisi materi
(baca: uang), atau dengan ukuran prestise yang akan ia dapatkan; jika ada
untungnya atau berpengaruh pada status kepegawaiannya, maka akan ia lakukan.
Namun jika tidak demikian, maka ia akan mencari beribu alasan untuk menghindarinya.
Padahal
kitab suci al-Quran telah menasihati kita dalam surat Yasin ayat 21, “Ikutilah
orang yang tidak meminta upah kepada kalian dan mereka selalu mendapat
petunjuk.” Jelas sekali prinsip pendidikan Islam dalam ayat ini. Ketulusan
guru berbanding lurus dengan kadar penyerapan murid terhadap muatan ajarnya.
Benar, hal ini bukan berarti kita dilarang menerima gaji atau honor dari
pengajaran kita, atau kita harus menolak ketika ada rezeki datang lantaran
pengajaran kita. Namun kita perlu tanamkan dalam jiwa kita bahwa itu semua
bukan tujuan, apalagi tujuan utama. Tujuan kita mengajar adalah menitipkan
karakter unggul dalam pribadi murid dan mengisi alam pikirannya dengan ilmu
yang akan menerangi jalan hidupnya kelak. Allah tidak akan menyia-nyiakan
hambaNya yang tulus dalam mengabdikan hidupnya. Indah sekali perumpamaan yang
dibuat oleh orang bijak, “Tanamlah padi maka rumput akan tumbuh, dan jangan
berharap padi akan tumbuh bila hanya rumput yang kau tanam.”
Keyakinan
seperti ini harus dipupuk dan ditumbuhkembangkan dalam jiwa guru, agar hati dan
akalnya hadir dalam aktivitas fisiknya dalam mengajar dan mendidik. Inilah
manusia sejati yang mengaktifkan seluruh komponen diri, insan kamil yang pantas
mengemban amanat dalam mengeluarkan manusia dari alam kebodohan.
Ditulis untuk majalah PENA KBRI Riyadh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar