Kenikmatan yang ada
di surga tidak bisa dilukiskan. Sangat istimewa. Pada saat penduduk surga
memasukinya, mereka berkata kepada Allah, “Wahai Allah, Engkau telah memberi
kami semua apa yang tidak Engkau berikan kepada seorang pun dari alam semesta
ini.” Allah lalu menjawab, “Aku memiliki yang lebih baik dari ini semua.”
“Apa yang lebih baik dari ini semua?” Tanya penduduk surga itu keheranan. “KeridhoanKu,
sehingga Aku tidak akan murka kepada kalian selamanya.” Jawab Allah.
Ya, kita tidak akan
mendapat kenikmatan yang lebih mulia nan agung daripada ridho Allah Subhanahu
wata’ala. Jika kita termasuk orang yang Allah ridhoi, maka alangkah bahagianya
kita mendapat pemberian yang penuh berkah ini. Tinggal kita harus tahu, apa
yang semestinya kita lakukan setelah mendapat kenikmatan ridho ini?
Bagaimana cara
berinteraksi dengan Allah saat Dia ridho?
Sebelumnya mencari
jawabannya kita perlu tahu, bagaimana kita bisa mengetahui apakah Allah ridho
kepada kita atau tidak? Sebagian manusia mengukur tanda keridhoan dengan
pemberian duniawi. Sehingga bila seseorang telah diberi kekayaan atau jabatan
tertentu ia mengatakan bahwa Allah telah ridho kepadanya. Atau saat orang
selamat dari suatu bahaya dengan cara yang unik, ia berkata bahwa Allah masih
mencintainya. Nah, apa kaitan urusan duniawi dengan ridho Allah? Kalaulah dunia
adalah ukuran keridhoan Allah, niscaya Rasulullah saw tidak akan pernah tidur
di atas tikar, menambal sendiri bajunya yang robek, tidak pula akan melewati 3
bulan dengan hanya mengonsumsi kurma dan air. Jika demikian, apa tanda
keridhoan Allah?
Jika Allah
memudahkan kita untuk melakukan ibadah, meninggalkan maksiat, menambah iman dan
kedekatan kita kepadaNya, maka ini adalah pertanda tambahnya ridho Allah kepada
kita. Ya, sangat sederhana, bila kita berada dalam ketaatan, maka Allah berarti
ridho kepada kita. Namun dengan syarat bahwa ketaatan itu dilakukan dengan
penuh harap akan balasan Allah, baik sangka kepada Allah, dan tidak disertai
bangga diri. Karena ada sebagian orang yang kalau diberi kemudahan untuk
melakukan ketaatan, maka dia merasa bangga diri, seakan dia telah menerima
surat khusus yang memberitahukan bahwa dia salah satu ahli surga, lalu
menganggap dirinya orang istimewa yang berbeda dari yang lain karena keutamaan
dan kesalehannya. Barangkali dia tidak mengatakan ini dengan lisannya, namun
hatinya merasakan itu. Allah berfirman:
“Hai manusia,
apakah yang telah memperdaya kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha
Pemurah.” (QS.
Al-Infithar: 6)
Yang semestinya
dilakukan ialah menyandarkan nikmat ketaatan itu hanya kepada Allah. Dialah
satu-satunya yang berperan dalam memudahkan ketaatan yang membuatNya ridho. Ya,
ridho Allah adalah karunia dari Allah juga, bukan karena upaya kita. Allahlah
yang memberi ridho itu, karena sifat pemurahNya, bukan karena kita berhak
mendapatkannya. Allah berfirman:
“Mereka merasa
telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, ‘Janganlah
kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah,
Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kepadamu keimanan
jika kamu adalah orang-orang yang benar." (QS. Al-Hujurat: 17)
Mungkin banyak orang
yang heran dengan pembahasan sikap kepada Allah saat Dia ridho. Anggapannya
kalau Allah telah ridho, maka kita tidak perlu lagi sesuatu yang lain. Namun
ternyata kita tetap perlu sikap, yang tentunya lebih spesifik lagi kepada Allah
pada saat ini. Karena menggapai ridho Allah berbeda dengan senantiasa dalam
keridhoanNya. Ya, karena sekedar mencapai ridho Allah itu mudah. Allah cepat
sekali ridho karena Dia Mahamulia dan Maha dermawan. Namun yang sulit adalah
bagaimana kita bisa tetap dalam keridhoanNya. Allah berfirman:
“Allah meneguhkan
(iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di
dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan melakukan
apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)
Ada sebuah
permisalan, seseorang belum pernah bertemu dengan menteri sama sekali, namun
tiba-tiba dia diangkat menjadi direktur di kantor kementerian. Pada saat itu tentu
orang ini akan berusaha keras mencari tahu apa saja yang disenangi oleh pak
menteri dan apa pula yang dibencinya, kapan waktu yang tepat untuk menemuinya
dan kapan pula waktu yang tidak tepat. Perkara-perkara ini dia cari tahu saat
ini karena dia mendapat jabatan baru yang tentu saja dia tidak ingin jabatan
itu hilang begitu saja.
Ini terhadap sesama
manusia, lebih-lebih kepada Allah, tentu kita harus lebih berambisi agar Allah
tetap ridho kepada kita dan kita tidak kehilangan kemuliaan ridhoNya. Lalu, apa
yang harus kita lakukan?
Pertama: Kita harus ridho kepada Allah
sebagaimana Allah ridho kepada kita. Allah berfirman:
“Allah ridho
kepada mereka dan mereka pun ridho kepadaNya.” (QS. Al-Maidah: 119)
Ridho bahwa Allah
adalah sesembahan kita, tiada sekutu bagiNya, ridho untuk taat kepadaNya, ridho
dengan berita-berita yang dikabarkanNya, dengan agamanya, dengan kitab dan
RasulNya. Lakukan ini dan pastikan akan terjadi hal yang luar biasa. Rasulullah
saw bersabda:
«مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا،
وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ»
“Barang siapa ridho dengan Allah sebagai tuhanNya,
Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai nabinya, maka ia berhak mendapat
surga.” (HR.
Muslim)
Katakan kepada Allah
bahwa kita ridho dengan apa yang Allah perintahkan dan yang Dia larang. Apa
yang membuat Allah ridho kita ridho, dan apa yang membuat Allah murka kita pun
benci. Kita ridho dengan apa yang telah Allah bagi untuk kita, ridho dengan
tubuh yang Allah berikan, dengan keluarga yang Allah karuniakan, dengan negeri
yang kita tinggali, dan dengan tingkat ekonomi yang telah Allah jatahkan.
Intinya kita ridho kepada Allah.
Ridho ini adalah amalan,
bukan amalan anggota badan, tetapi amalan hati. Dan amalan hati itu lebih utama
dan lebih penting daripada amalan tubuh, meski keduanya sama-sama diminta oleh
Allah. Jika hati kita sudah bisa melakukan ini, maka kita akan bisa merasakan kebahagiaan
dengan Allah. Ibnul Qayyim rh berkata, “Buah dari sikap ridho adalah bahagia
dan senang dengan Allah.”
Ridho adalah salah
satu jalan menuju Allah, namun memiliki keistimewaan bahwa jalan ini jalan yang
paling pintas. Kalau ibadah yang lain perlu kekuatan besar, ibadah ridho hanya
membutuhkan upaya kecil namun menghasilkan kebaikan yang banyak. Ibnul Qayyim
rh berkata, “Jika Allah memberi seorang hamba rezeki yang sedikit, namun ia
ridho dengan itu, maka Allah pun akan ridho meski dengan sedikit amalnya.”
Kedua: Sabar dalam keridhoan Allah.
Yaitu dengan menjaga kesabaran saat menjalani ketaatan, sabar untuk tidak
melakukan larangan, sabar dalam takdir Allah yang secara lahir menyusahkan
kita. Manusia pada dasarnya bisa sabar dalam banyak hal terkait pekerjaan
sesama manusia, maka sabar terkait Allah tentu lebih utama. Nabi Musa as
bersegera dalam melaksanakan ketaatan kemudian berkata:
“Aku bersegera
kepadaMu wahai tuhanku agar Engkau ridho.” (QS. Thaha: 84)
Padahal Musa as
termasuk rasul yang utama, meski demikian beliau bersegera kepada Allah dengan
ketaatan. Kalaupun Allah telah ridho kepada kita, bagaimana kita tetap
bersegera untuk mendatangiNya. Melakukan perintah dengan cepat, misalnya dengan
mendatangi orang tua kita demi memastikan apakah mereka berdua ridho kepada
kita atau tidak, karena ridho Allah sangat tergantung ridho keduanya. Atau
setelah menikmati makanan segera ucapkan hamdalah karena Nabi Muhammad saw
bersabda:
«إِنَّ اللهَ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ
الْأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ
عَلَيْهَا»
“Sesungguhnya Allah ridho kepada seorang hamba saat ia
makan satu makanan lalu ia memujiNya, atau meminum satu minuman lalu
memujiNya.” (HR.
Muslim)
Demikianlah, kita
perlu menjaga keridhoan Allah yang telah diraih, karena ridhoNya tidak
diberikan kepada sembarang orang. Misalkan ada malaikat yang memberi kita
sebidang tanah di surga Firdaus, apakah kita akan meninggalkannya? Tentu tidak
mungkin bukan? Bahkan sangat wajar kalau dia harus mempertaruhkan jiwa dan
raganya. Dan ridho Allah itu lebih dari surga Firdaus. Ini Allah sendiri yang
memberitahukannya. Allah berfirman:
“Allah
menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat)
surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan
(mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. Dan keridhaan Allah adalah
lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS. At-Taubah: 72)
Keridhoan Allah ini
harus kita pegang erat-erat, jangan sampai setan merebutnya dari kita, karena
kalau setan tahu bahwa Allah telah ridho kepada kita, maka ia akan sangat marah
dan sangat dengki, karena ia telah berjanji akan memalingkan manusia dari Allah
dan jalanNya.
Mari kita mengikat
janji bersama untuk menggapai dan menjaga keridhoan Allah hingga kita berkumpul
di surga Firdaus nanti.
Artikel ini ditulis untuk www.markazinayah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar