Jumat, 29 Januari 2016

Saat Allah Ridho

Kenikmatan yang ada di surga tidak bisa dilukiskan. Sangat istimewa. Pada saat penduduk surga memasukinya, mereka berkata kepada Allah, “Wahai Allah, Engkau telah memberi kami semua apa yang tidak Engkau berikan kepada seorang pun dari alam semesta ini.” Allah lalu menjawab, “Aku memiliki yang lebih baik dari ini semua.” “Apa yang lebih baik dari ini semua?” Tanya penduduk surga itu keheranan. “KeridhoanKu, sehingga Aku tidak akan murka kepada kalian selamanya.” Jawab Allah.

Ya, kita tidak akan mendapat kenikmatan yang lebih mulia nan agung daripada ridho Allah Subhanahu wata’ala. Jika kita termasuk orang yang Allah ridhoi, maka alangkah bahagianya kita mendapat pemberian yang penuh berkah ini. Tinggal kita harus tahu, apa yang semestinya kita lakukan setelah mendapat kenikmatan ridho ini?

Bagaimana cara berinteraksi dengan Allah saat Dia ridho?
Sebelumnya mencari jawabannya kita perlu tahu, bagaimana kita bisa mengetahui apakah Allah ridho kepada kita atau tidak? Sebagian manusia mengukur tanda keridhoan dengan pemberian duniawi. Sehingga bila seseorang telah diberi kekayaan atau jabatan tertentu ia mengatakan bahwa Allah telah ridho kepadanya. Atau saat orang selamat dari suatu bahaya dengan cara yang unik, ia berkata bahwa Allah masih mencintainya. Nah, apa kaitan urusan duniawi dengan ridho Allah? Kalaulah dunia adalah ukuran keridhoan Allah, niscaya Rasulullah saw tidak akan pernah tidur di atas tikar, menambal sendiri bajunya yang robek, tidak pula akan melewati 3 bulan dengan hanya mengonsumsi kurma dan air. Jika demikian, apa tanda keridhoan Allah?

Jika Allah memudahkan kita untuk melakukan ibadah, meninggalkan maksiat, menambah iman dan kedekatan kita kepadaNya, maka ini adalah pertanda tambahnya ridho Allah kepada kita. Ya, sangat sederhana, bila kita berada dalam ketaatan, maka Allah berarti ridho kepada kita. Namun dengan syarat bahwa ketaatan itu dilakukan dengan penuh harap akan balasan Allah, baik sangka kepada Allah, dan tidak disertai bangga diri. Karena ada sebagian orang yang kalau diberi kemudahan untuk melakukan ketaatan, maka dia merasa bangga diri, seakan dia telah menerima surat khusus yang memberitahukan bahwa dia salah satu ahli surga, lalu menganggap dirinya orang istimewa yang berbeda dari yang lain karena keutamaan dan kesalehannya. Barangkali dia tidak mengatakan ini dengan lisannya, namun hatinya merasakan itu. Allah berfirman:

“Hai manusia, apakah yang telah memperdaya kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.” (QS. Al-Infithar: 6)

Yang semestinya dilakukan ialah menyandarkan nikmat ketaatan itu hanya kepada Allah. Dialah satu-satunya yang berperan dalam memudahkan ketaatan yang membuatNya ridho. Ya, ridho Allah adalah karunia dari Allah juga, bukan karena upaya kita. Allahlah yang memberi ridho itu, karena sifat pemurahNya, bukan karena kita berhak mendapatkannya. Allah berfirman:

“Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, ‘Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kepadamu keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar." (QS. Al-Hujurat: 17)

Mungkin banyak orang yang heran dengan pembahasan sikap kepada Allah saat Dia ridho. Anggapannya kalau Allah telah ridho, maka kita tidak perlu lagi sesuatu yang lain. Namun ternyata kita tetap perlu sikap, yang tentunya lebih spesifik lagi kepada Allah pada saat ini. Karena menggapai ridho Allah berbeda dengan senantiasa dalam keridhoanNya. Ya, karena sekedar mencapai ridho Allah itu mudah. Allah cepat sekali ridho karena Dia Mahamulia dan Maha dermawan. Namun yang sulit adalah bagaimana kita bisa tetap dalam keridhoanNya. Allah berfirman:

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan melakukan apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)

Ada sebuah permisalan, seseorang belum pernah bertemu dengan menteri sama sekali, namun tiba-tiba dia diangkat menjadi direktur di kantor kementerian. Pada saat itu tentu orang ini akan berusaha keras mencari tahu apa saja yang disenangi oleh pak menteri dan apa pula yang dibencinya, kapan waktu yang tepat untuk menemuinya dan kapan pula waktu yang tidak tepat. Perkara-perkara ini dia cari tahu saat ini karena dia mendapat jabatan baru yang tentu saja dia tidak ingin jabatan itu hilang begitu saja.

Ini terhadap sesama manusia, lebih-lebih kepada Allah, tentu kita harus lebih berambisi agar Allah tetap ridho kepada kita dan kita tidak kehilangan kemuliaan ridhoNya. Lalu, apa yang harus kita lakukan?

Pertama: Kita harus ridho kepada Allah sebagaimana Allah ridho kepada kita. Allah berfirman:
“Allah ridho kepada mereka dan mereka pun ridho kepadaNya.” (QS. Al-Maidah: 119)
Ridho bahwa Allah adalah sesembahan kita, tiada sekutu bagiNya, ridho untuk taat kepadaNya, ridho dengan berita-berita yang dikabarkanNya, dengan agamanya, dengan kitab dan RasulNya. Lakukan ini dan pastikan akan terjadi hal yang luar biasa. Rasulullah saw bersabda:

«مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ»
“Barang siapa ridho dengan Allah sebagai tuhanNya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai nabinya, maka ia berhak mendapat surga.” (HR. Muslim)

Katakan kepada Allah bahwa kita ridho dengan apa yang Allah perintahkan dan yang Dia larang. Apa yang membuat Allah ridho kita ridho, dan apa yang membuat Allah murka kita pun benci. Kita ridho dengan apa yang telah Allah bagi untuk kita, ridho dengan tubuh yang Allah berikan, dengan keluarga yang Allah karuniakan, dengan negeri yang kita tinggali, dan dengan tingkat ekonomi yang telah Allah jatahkan. Intinya kita ridho kepada Allah.

Ridho ini adalah amalan, bukan amalan anggota badan, tetapi amalan hati. Dan amalan hati itu lebih utama dan lebih penting daripada amalan tubuh, meski keduanya sama-sama diminta oleh Allah. Jika hati kita sudah bisa melakukan ini, maka kita akan bisa merasakan kebahagiaan dengan Allah. Ibnul Qayyim rh berkata, “Buah dari sikap ridho adalah bahagia dan senang dengan Allah.”

Ridho adalah salah satu jalan menuju Allah, namun memiliki keistimewaan bahwa jalan ini jalan yang paling pintas. Kalau ibadah yang lain perlu kekuatan besar, ibadah ridho hanya membutuhkan upaya kecil namun menghasilkan kebaikan yang banyak. Ibnul Qayyim rh berkata, “Jika Allah memberi seorang hamba rezeki yang sedikit, namun ia ridho dengan itu, maka Allah pun akan ridho meski dengan sedikit amalnya.”

Kedua: Sabar dalam keridhoan Allah. Yaitu dengan menjaga kesabaran saat menjalani ketaatan, sabar untuk tidak melakukan larangan, sabar dalam takdir Allah yang secara lahir menyusahkan kita. Manusia pada dasarnya bisa sabar dalam banyak hal terkait pekerjaan sesama manusia, maka sabar terkait Allah tentu lebih utama. Nabi Musa as bersegera dalam melaksanakan ketaatan kemudian berkata:

“Aku bersegera kepadaMu wahai tuhanku agar Engkau ridho.” (QS. Thaha: 84)

Padahal Musa as termasuk rasul yang utama, meski demikian beliau bersegera kepada Allah dengan ketaatan. Kalaupun Allah telah ridho kepada kita, bagaimana kita tetap bersegera untuk mendatangiNya. Melakukan perintah dengan cepat, misalnya dengan mendatangi orang tua kita demi memastikan apakah mereka berdua ridho kepada kita atau tidak, karena ridho Allah sangat tergantung ridho keduanya. Atau setelah menikmati makanan segera ucapkan hamdalah karena Nabi Muhammad saw bersabda:

«إِنَّ اللهَ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الْأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا»
“Sesungguhnya Allah ridho kepada seorang hamba saat ia makan satu makanan lalu ia memujiNya, atau meminum satu minuman lalu memujiNya.” (HR. Muslim)

Demikianlah, kita perlu menjaga keridhoan Allah yang telah diraih, karena ridhoNya tidak diberikan kepada sembarang orang. Misalkan ada malaikat yang memberi kita sebidang tanah di surga Firdaus, apakah kita akan meninggalkannya? Tentu tidak mungkin bukan? Bahkan sangat wajar kalau dia harus mempertaruhkan jiwa dan raganya. Dan ridho Allah itu lebih dari surga Firdaus. Ini Allah sendiri yang memberitahukannya. Allah berfirman:

“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS. At-Taubah: 72)

Keridhoan Allah ini harus kita pegang erat-erat, jangan sampai setan merebutnya dari kita, karena kalau setan tahu bahwa Allah telah ridho kepada kita, maka ia akan sangat marah dan sangat dengki, karena ia telah berjanji akan memalingkan manusia dari Allah dan jalanNya.

Mari kita mengikat janji bersama untuk menggapai dan menjaga keridhoan Allah hingga kita berkumpul di surga Firdaus nanti.

Artikel ini ditulis untuk www.markazinayah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar