Tidak hanya sampai di situ, saat
hamba ini benar-benar melakukan maksiat, Allah menutupinya dan menghalangi
orang untuk melihatnya. Ya, agar ia tidak dipermalukan di depan umum. Ini
karena sifat kasih sayang Allah.
Setelah hamba ini selesai
bermaksiat, Allah mengajaknya untuk kembali ke jalan yang benar. Bahkan Allah
akan mengganjarnya dengan mengubah kesalahannya menjadi kebaikan. Sungguh tidak
akan kita temukan selain Allah yang bisa melakukan ini semua.
Jika hamba ini masih juga tidak
mau bertaubat, Allah akan memberinya waktu, tak jarang sampai bertahun-tahun
agar dia mau kembali kepada Tuhannya dan bertobat kepadaNya. Hal ini Allah
lakukan setiap hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ
وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ، وَيَبْسُطُ
يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ، حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ
مَغْرِبِهَا
“Sesungguhnya Allah membentangkan tanganNya di waktu malam agar
pendosa di siang hari bertaubat, dan Allah membentangkan tanganNya di waktu
siang agar pendosa di malam hari bertaubat.” (HR. Muslim)
Manakala pada suatu saat hamba
ini kembali kepada Allah, maka Dia akan sangat gembira melebihi kegembiraan
hamba itu sendiri. Mahasuci Allah, Dzat yang merajai segala raja namun gembira
saat seorang hamba kembali kepadaNya, padahal hamba itu yang sebenarnya
membutuhkanNya. Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mencintai Rabb yang
demikian cara interaksiNya. Karenanya, Allah menamai diriNya dengan nama
Al-Wadud (yang Mahacinta), tiada sesuatu pun yang menyamaiNya.
Bagaimana kita berinteraksi
dengan Allah saat Dia menutupi kita?
Allah sering kali menutupi kita,
lalu apa yang harus kita lakukan saat Allah menutupi kita? Pertama-tama:
menerima “hadiah” Allah ini. Ya, Allah menutupi kita saat melakukan kemaksiatan
merupakan hadiah besar untuk kita. Karena ada juga orang yang tidak ditutupi
oleh Allah. Maka sepantasnya kita menerima hadiah ini dan tidak menolaknya.
Mungkin ada orang yang bertanya, “Bagaimana mungkin kita bisa menolak atau
mengembalikan hadiah ini?” Jawabannya seperti yang kita lihat pada sebagian
orang, ia membuka aib dosanya sendiri kepada orang lain. Orang seperti ini
tidak memiliki sopan santun kepada Allah. Dan apa juga manfaat yang akan dia
dapatkan dari perilakunya ini.
Anehnya, ada sebagian orang
bercerita tentang dosanya setelah sekian tahun, yang bisa jadi dia sendiri
sudah bertobat di masa kecil atau masa remajanya, padahal Allah telah
menutupinya. Ada pula yang beralasan bahwa orang-orang juga menceritakan masa
lalu mereka. Ini adalah alasan yang sulit diterima. Jika kita pergi ke sebuah
negara yang penduduknya mengumbar aurat, akankah kita juga akan melakukan hal
yang sama? Tentu tidak. Kalau kita harus menutupi aurat jasad kita, maka sudah
barang tentu kita juga harus menutup aurat jiwa kita. Bahkan lebih penting.
Dari sini kita bisa merasakan betapa santun dan sabarnya Allah SWT.
Kala seorang hamba berbuat
kesalahan kepadaNya, Allah yang Mahakuat ini membalasnya dengan sikap yang
unik. Allah tidak mengusiknya, tidak pula membuka tabir yang menutupi aibnya.
Sementara hamba ini justru menambah kesalahannya dengan cara menolak hadiahNya
dan dengan bangga menceritakan dosa itu ke rekan-rekannya. Apa kiranya yang
akan menimpa orang yang semacam ini? Ya, Allah akan melakukan yang setimpal
dengan perbuatannya.
Kalaulah ada orang yang berbuat
mesum, ketika orang-orang ingin menghukumnya datang orang baik hati
melindunginya dan memasukkannya ke rumahnya. Tiba-tiba orang keji ini justru
menyebarkan foto mesumnya di media sosial yang dimilikinya. Tentu orang baik
hati itu akan mengusirnya dari rumah itu. Ini wajar dilakukan karena sikapnya
memang sudah kelewatan. Nah, jika sikap ini ia lakukan terhadap Allah yang Mahasantun
lagi Mahamulia, maka pantas bila Allah akan memaafkan semua pendosa kecuali
orang ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي
مُعَافًى إِلَّا المُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنَ المُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ
الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ،
فَيَقُولَ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ البَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ
يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Semua umatku akan dimaafkan (dosanya) kecuali orang yang
menampakkannya. Termasuk menampakkan dosa ialah bila seseorang melakukan dosa
pada malam hari dan pada pagi harinya -padahal Allah telah menutupinya-
berkata, “Wahai Fulan, aku telah melakukan ini dan itu tadi malam.” Padahal
semalaman Tuhannya telah menutupinya, di pagi harinya ia justru membuka tutup
Allah itu.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Kedua: di antara sikap yang perlu
kita miliki saat Allah menutupi kita ialah menaati Allah dalam kesendirian kita
sebagaimana kita telah bermaksiat dalam kesendirian kita. Dengan sedekah
tersembunyi misalnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ صَدَقَةَ
السِّرِّ تُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
“Sesungguhnya sedekah tersembunyi itu bisa memadamkan murka
Allah.” (HR.
Thabrani)
Bisa juga dengan shalat beberapa
rakaat di malam hari saat tidak ada orang yang melihat. Intinya, kita memiliki
amalan tersembunyi yang berkesinambungan meski kecil. Meski hanya memberi makan
seekor hewan misalnya, tetapi secara tersembunyi. Demikianlah para orang saleh
menganjurkan agar kita memiliki amalan tersembunyi yang tidak diketahui oleh
seorang pun, meski itu istri atau anggota keluarganya yang lain.
Ketiga: kita harus menjaga tutup
Allah ini. Jangan sampai tutup Allah ini hanya bersifat sementara, lalu setelah
setahun dua tahun dosa itu terbuka. Tutup ini harus berlanjut hingga akhir
hayat kita. Caranya, kita berterima kasih kepada Allah atas tutup yang
diberikanNya. Dengan ini Allah akan senantiasa menutupi aib dosa kita. Bahkan
jika kita memerlukan tutupNya di kemudian hari, maka Allah akan memberikannya,
bahkan bisa jadi akan menambahkannya. Allah berfirman:
“Ingatlah ketika Allah tatkala
Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu), maka
sesungguhnya azabKu sangat pedih." (QS. Ibrahim: 7)
Cara lainnya, kita menutup aib
hambaNya. Melakukan apa yang Allah lakukan kepada kita. Bahkan jika dia
nonmuslim sekalipun jika kita mampu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
لَا يَسْتُرُ
عَبْدٌ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا، إِلَّا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَة
“Tidaklah seorang hamba menutupi aib hamba di dunia melainkan
Allah akan menutup aibnya di hari kiamat.” (HR. Ahmad)
Bayangkan kita berdiri dilihat
oleh seluruh manusia dari manusia pertama hingga manusia terakhir nanti, ada
rasa takut menyelinap kiranya aib dosa kita terkuak di hari kiamat ini, aib
dosa yang kita sembunyikan selama hidup. Bayangkan untuk pertama kalinya kita
bertemu dengan Nabi Adam, lalu aib kita terbuka di hadapannya. Untuk pertama
kalinya melihat Nabi-nabi lainnya, termasuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam keadaan melihat dosa yang kita sembunyikan.
Dalam kondisi yang demikian, saat
mungkin saja bagi Allah membuka atau menutupi dosa kita, tiba-tiba Allah
memilih untuk menutupi kita seraya berkata:
إِنِّي سَتَرْتُ
عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا، فَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ اليَوْمَ
“Sesungguhnya Aku telah menutupimu di dunia, maka Aku mengampuni
dosa itu untukmu pada hari ini.” (HR. Bukhari)
Lalu buku catatan amal diberikan
dan kita terima dengan tangan kanan kita, kita beri kabar gembira kepada semua
orang, “Ini, bacalah buku catatan amalku!” kemudian kita dimasukkan ke dalam
surga tanpa ada seorang pun yang mengetahui dosa tersembunyi kita.
Mengapa Allah lakukan semua ini untuk kita? Karena kita berusaha sekuat tenaga untuk menutupi aib saudara kita meski setan bersikeras dalam membujuk kita. Di hari kiamat inilah kita memetik buah prilaku kita. Demi Allah, ini adalah perasaan terindah yang dirasakan oleh manusia. Semoga Allah menutupi aib dosa kita dan menganugerahkan kepada kita surga, Amin.
Artikel ini ditulis untuk www.markazinayah.com
جزاكم الله خيرا
BalasHapusيمنكم زيارتنا على الموقع