Abdullah bin Mubarok berkata: "Aku belajar adab selama 30 tahun dan belajar keilmuan 20 tahun, mereka (generasi sebelum beliau) senantiasa belajar adab sebelum belajar keilmuan". (Ghayatun nihayah-Ibnul Jauzi).
Jauh sekali dengan kondisi kita saat ini, materi keilmuan dan pengetahuan menjadi tujuan utama dalam proses pembelajaran.Keberhasilan siswa pun diukur dengan barometer ini. Aspek budi pekerti dikesampingkan, bahkan tak jarang dianggap sebagai penghalang kreatifitas dan modernitas.
Tidak mengherankan jika kita mendapati siswa abad ini berani menyalak pada gurunya, mencela dan memakinya. Baginya, guru tidak lebih dari sekedar tukang ajar, sama seperti tukang kebun di rumahnya atau tukang masak di dapurnya. Sekolah atau pesantren pun dianggap layaknya terminal, bebas corat-coret dan tidak punya sedikitpun rasa memiliki dan menjaga, tidak pula terjalin hubungan emosional. Alih-alih memiliki akhlak kepada Allah, Rasul dan kitabNya.
Ada yang harus dibenahi dalam pendidikan kita. Pendidikan karakter semestinya tidak hanya slogan hari pendidikan, atau bahan pembahasan dalam seminar, namun dikaji pelaksanaannya, dicontohkan oleh semua yang terlibat dalam pendidikan dan selalu bercermin pada kehidupan salaf.
Kalau kita membaca biografi para ulama' pasti akan kita temukan kebanggaan terhadap guru-guru mereka, meski hanya mengambil satu hadits darinya. Dengan tulus mereka senantiasa mendoakan guru mereka ketika menyebut namanya atau sebelum baca kitab karyanya.
Kekuatan ilmiah yang dibangun di atas kekuatan akhlak akan menghasilkan sumber daya yang luar biasa. Ilmuwan yang rendah hati, profesional yang jujur, ulama' yang tegas dan dapat menjadi teladan umat.
Mari kita mulai dari kita, kemudian anak dan siswa kita, selanjutnya lingkungan dan bangsa kita.
Jauh sekali dengan kondisi kita saat ini, materi keilmuan dan pengetahuan menjadi tujuan utama dalam proses pembelajaran.Keberhasilan siswa pun diukur dengan barometer ini. Aspek budi pekerti dikesampingkan, bahkan tak jarang dianggap sebagai penghalang kreatifitas dan modernitas.
Tidak mengherankan jika kita mendapati siswa abad ini berani menyalak pada gurunya, mencela dan memakinya. Baginya, guru tidak lebih dari sekedar tukang ajar, sama seperti tukang kebun di rumahnya atau tukang masak di dapurnya. Sekolah atau pesantren pun dianggap layaknya terminal, bebas corat-coret dan tidak punya sedikitpun rasa memiliki dan menjaga, tidak pula terjalin hubungan emosional. Alih-alih memiliki akhlak kepada Allah, Rasul dan kitabNya.
Ada yang harus dibenahi dalam pendidikan kita. Pendidikan karakter semestinya tidak hanya slogan hari pendidikan, atau bahan pembahasan dalam seminar, namun dikaji pelaksanaannya, dicontohkan oleh semua yang terlibat dalam pendidikan dan selalu bercermin pada kehidupan salaf.
Kalau kita membaca biografi para ulama' pasti akan kita temukan kebanggaan terhadap guru-guru mereka, meski hanya mengambil satu hadits darinya. Dengan tulus mereka senantiasa mendoakan guru mereka ketika menyebut namanya atau sebelum baca kitab karyanya.
Kekuatan ilmiah yang dibangun di atas kekuatan akhlak akan menghasilkan sumber daya yang luar biasa. Ilmuwan yang rendah hati, profesional yang jujur, ulama' yang tegas dan dapat menjadi teladan umat.
Mari kita mulai dari kita, kemudian anak dan siswa kita, selanjutnya lingkungan dan bangsa kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar