Rabu, 09 Desember 2015

Seberapa jauh kita mengenal Allah?

Banyak orang yang ketika dikejutkan dengan pertanyaan, “Siapakah Allah itu?”, mereka akan menjawab bahwa Allah adalah Sang Pencipta atau Pemberi rezeki. Itu benar, namun, apakah hanya ini yang kita ketahui tentang Allah? Ada kaidah yang mengatakan bahwa setiap kali manusia bertambah pengetahuannya tentang Allah, maka setiap itu pula rasa takutnya kepada Allah akan bertambah, dan bertambah baik pula cara interaksinya dengan Allah. Allah berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُور
“Sesungguhnya, yang takut kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu. Sesungguhnya Allah Mahamulia lagi Maha pengampun.” (QS. Fathir: 28)

Allah berada di langit, tidak ada yang mengetahui hakikat DzatNya kecuali Allah sendiri. Cukup bahwa tidak ada orang yang mampu melihat Allah saat ini sebagai bukti untuk menunjukkan keagunganNya. Karena apapun nama makhluk yang melihat Allah di dunia, pasti ia akan hancur lebur. Makhluk terkuat pun tidak mampu melihat Allah, apalagi manusia yang sangat lemah. Jika keagungan dan kekuatan Allah sedemikian besarnya, hingga siapapun yang melihatNya akan binasa dan hancur hanya dengan sekedar melihat, maka bisa dibayangkan bagaimana kebesaranNya. Bagaimana pula keagungan sifat-sifat mulia yang dimilikiNya.

Allah sangat mengetahui hal ini, Allah pun tahu bahwa para kekasihNya dari kalangan manusia ingin sekali melihatNya. Ya, karena mereka sering kali mendengar tentang Allah, belajar tentang Allah, keagungan, dan keindahanNya. Maka sangat wajar bila mereka ingin melihat keindahan ini. Oleh karenanya, Allah akan menguatkan jasad mereka pada hari kiamat dan menganugerahkan kemampuan untuk dapat melihatNya, agar tubuh-tubuh mereka merasakan kenikmatan untuk melihat Allah tanpa harus hancur berkeping.

Dzat Allah memiliki sifat sempurna, tidak ada sesuatupun yang dapat menyamainya. Memang terkadang makhluk juga mempunyai sifat yang sama, namun hanya pada namanya saja. Seperti Allah memiliki sifat hidup yang sempurna, makhluk pun memiliki sifat hidup tersendiri, tetapi sama sekali tidak seperti hidupnya Allah. Ya, selamanya tidak akan ada yang dapat menyerupai atau mendekati sifat hidupNya barang sedikitpun. Demikian pula pada sifat-sifat yang lain.
Allah adalah sesembahan seluruh makhluk tak terkecuali, mereka tidak akan menemukan sesembahan selainNya. Allah sendiri yang menanggung seluruh kebutuhan mereka, mengatur semua kerajaanNya yang mahaluas meliputi semua langit dan bumi tanpa bantuan siapapun. Sejak Allah menciptakan makhluk pertama hingga dunia berakhir nanti, hanya Allah semata yang memberi rezeki, yang menguasai, dan yang akan mengambil kembali. Sebagian sifat-sifat ini sudah Allah beritahukan dan ajarkan kepada kita, namun Allah juga memiliki banyak sifat yang belum diberitahukanNya, sehingga kita dan tidak ada seorangpun yang mengetahuinya. Allah telah menyimpannya dalam ilmu gaib di sisiNya. Ya, di antara bukti keagungan Allah, tidak ada seorangpun dan dapat mengetahui secara persis tentang sifat-sifatNya kecuali satu, yaitu Allah Subhanahu wata’ala sendiri.

Seperti mata yang merupakan bagian dari anggota badan. Ia memiliki batas dan tidak bisa melihat pada jarak pandang tertentu yang lebih jauh. Telinga pun tidak dapat mendengar kecuali pada jarak tertentu. Demikian pula akal manusia, tidak dapat memahami kecuali pada batas-batas tertentu. Di sana ada banyak hal yang memiliki kapasitas lebih besar dari kemampuan akal untuk memahaminya, sehingga mengkhayalkannya saja tidak bisa. Dan yang terbesar adalah Allah. Tidak ada seorangpun yang dapat menggambarkanNya sebelum melihatNya nanti di hari kiamat. Allah berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيْرُ
“Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah, Dialah yang Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)

Siapapun yang mencoba untuk berkhayal tentang Allah, maka Allah tidak seperti apa yang dikhayalkannya. Kalaupun manusia hidup selama seratus tahun dan selama itu pula tidak melakukan apa-apa kecuali berusaha untuk menggambarkan hakikat Allah, maka tetap tidak akan bisa. Apapun yang dihasilkannya, maka Allah bukan seperti itu. Karena Allah memiliki keagungan dan kemuliaan yang tidak mungkin diketahui oleh makhlukNya.

Karenanya, hingga saat ini, tidak ada seorangpun yang dapat memuji Allah dengan pujian yang sepadan dengan keagungan ini. Siapapun yang berusaha untuk memuji dan menyanjung, baik dengan ucapan maupun perbuatan, baik dari kalangan malaikat atau para nabi, maka mereka hanya mampu mendekati pujian yang pantas diberikan kepada Allah. Ya, yang bisa memuji Allah dengan pujian yang semestinya hanya Allah sendiri. Kalaupun dikumpulkan semua pujian makhluk, semua ibadah para malaikat, para nabi dan seluruh orang saleh, dari makhluk pertama hingga terakhir, lalu dilipatgandakan berkali-kali lipat kemudian dipersembahkan kepada Allah, maka tidak akan setimpal dengan hak pujian bagi Allah yang seharusnya, tetap saja belum bisa sepadan bahkan dengan satu sifat Allah saja.

Ada dari kalangan malaikat yang rukuk dan tidak mengangkat kepala selamanya, ada pula yang sujud dan tidak kembali dari sujudnya hingga hari kiamat, mereka bertasbih dan beribadah, lalu ketika datang hari kiamat mereka berkata, “Mahasuci Engkau ya Allah, kami belum bisa beribadah kepadaMu dengan ibadah yang semestinya.” Allah berfirman tentang orang-orang musyrik:

وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
“(Orang-orang musyrik itu) tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal semua bumi ada di genggamanNya pada hari kiamat nanti dan semua langit terkumpul di tangan kananNya. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka sekutukan.” (QS. Az-Zumar: 67)

Jika demikian, ketika Allah menerima ibadah kita itu berarti bentuk kemurahan Allah untuk kita. Ya, karena ibadah kita sarat dengan kekurangan, seperti shalat tanpa penghayatan, dan terkadang ada riya’ yang menyelinap di dalamnya. Belum lagi kita dahului ibadah itu dengan dosa dan melakukan dosa lagi setelah itu. Namun dengan segala kemurahanNya Allah menerima ibadah kita jika dilakukan dengan tulus karenaNya. Padahal, ibadah kita itu tidak ada manfaatnya bagi Allah dan memang Allah tidak membutuhkannya. Justru kita yang memerlukannya agar kita mendapatkan ketenangan ketika melaksanakannya. Kitalah yang akan menikmati saat menunaikannya, kita pula yang akan memasuki surga serta merasakan kelezatan dan kebahagiaan abadi di sana. Sedangkan Allah tidak akan mengambil manfaat apapun dari ibadah kita. Ya, manfaat apa yang bisa kita berikan untuk Allah? Allah Mahakaya dan kitalah yang membutuhkan Allah. Kendati demikian, Allah masih memberi rezeki kepada kita saat kita membutuhkan, memuliakan, dan memberi kita petunjukNya. Bahkan Allah senang dengan permintaan kita, semakin banyak kita meminta, maka Allah semakin cinta kepada kita. Karena kecintaan Allah pada sifat kedermawanan jauh di atas apa yang dibayangkan oleh akal kita. Ini bagian dari keindahan perbuatan Allah Subhanahu wata’ala. Allah telah menggabungkan dalam diriNya keindahan dzat dan keindahan sifat.

Ya, sesembahan kita adalah Allah yang Maha indah itu, Dzat yang paling indah di antara yang ada. Karenanya, Allah menamai diriNya dengan nama Jamil ‘Yang Indah’. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ
“Sesungguhnya Allah itu Maha indah dan mencintai keindahan.” (HR. Muslim)

Cukup sebagai bukti keindahan Allah, bahwa semua keindahan yang ada pada manusia, alam semesta, tetumbuhan, binatang, dan makhluk lainnya adalah bagian dari jejak keindahan Dzat yang menciptakannya. Maka tak heran jika kenikmatan terbesar yang akan didapatkan oleh penduduk surga adalah saat Allah memperlihatkan keindahanNya, agar mereka dapat melihatNya di surga yang keindahanNya belum pernah mereka lihat di dunia. Allah berfirman:

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ، إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah (orang-orang mukmin) pada hari kiamat itu indah berseri, kepada Rabbnya ia melihat.” (QS. Al-Qiyamah: 22-23)

Setiap orang yang melihat Allah ia akan diliputi kebahagiaan yang belum pernah dirasakannya, karena Allah pula yang menciptakan kebahagiaan. Allah akan memberikan kebahagiaan itu kepada orang yang datang dan mendekatkan diri kepadaNya, dan tidak akan memberikannya kepada orang yang menjauh dariNya. Semakin dekat seorang hamba kepadaNya maka akan semakin merasakan kebahagiaan itu. Oleh karenanya, Allah telah menjadikan surga berada di dekatNya, di langit yang ke tujuh, sebab di situlah tempat kebahagiaan. Setiap kali kita naik ke tingkatan yang lebih tinggi di surga, maka setiap kali itu pula kita semakin mendekat kepada Dzat Allah, sampai pada tingkatan surga yang tertinggi, yaitu surga Firdaus. Tempat yang paling menyenangkan bersama para nabi dan rasul. Atapnya ‘Arsyur Rahman ‘tempat Allah bersemayam’.

Benar, kebahagiaan itu ada pada kedekatan kita kepada Allah, karena ujung kebahagiaan ada di sisiNya. Allah berfirman tentang Sidratul Muntaha ‘sebuah pohon di sisi kanan ‘Arsy’:

عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى
“Di sisi pohon itu ada surga Ma’wa (tempat bagi hamba Allah yang saleh).” (QS. An-Najm: 15)

Namun bersamaan dengan semua keagungan ini, dzat yang paling banyak didurhakai, diselisihi, dan dipalingkan adalah Allah. Pernahkah kita melihat di dunia orang yang lebih didurhakai daripada Allah? Meski demikian, Allah tetap memberi yang membutuhkan dan menyembuhkan yang sakit, karena Allah al-Halim ‘Maha santun’ dan ash-Shabur ‘Maha sabar’.  Bahkan, jika seorang pendosa itu kembali kepada Allah dan bertaubat, maka Allah akan sangat senang dan lebih senang daripada orang yang bertaubat itu sendiri, padahal Allah Mahakaya tidak membutuhkan hambaNya. Tidak aneh jika seorang budak mendekat dan mencintai majikannya, yang mengherankan jika majikan itu yang melakukannya kepada budak miliknya sementara dia berpaling dan durhaka. Kita harus tahu bahwa jika seorang hamba mau mengangkat tangannya kepada Allah, maka Allah akan malu, malu bila tidak mengabulkan permintaannya.


Inilah Allah tuhan dan sesembahan kita yang kita tidak membutuhkan sesembahan yang lain lagi. Rabb yang menjadi tempat kita menggantungkan segala keinginan dan harapan kita di hari kiamat. Jika keagungan Allah sedemikian besarnya, bagaimana seharusnya kita berinteraksi denganNya?

Artikel ini ditulis untuk www.markazinayah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar