Selasa, 15 Juni 2010

Jibril ajari adab menuntut ilmu

Hadits Jibril yang panjang memberi kita para penuntut ilmu pelajaran berharga, bagaimana seorang penuntut ilmu harus bersikap. Berikut sebagian dari pelajaran itu:

1.    Disunnahkan untuk senantiasa duduk di majelis Ilmu, sebab majelisnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah  majelis ilmu; Rasulullah  adalah sumber Ilmu, perkataan beliau adalah ilmu, perbuatan  beliau adalah ilmu bahkan diamnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ilmu sehingga dengan bermajelis bersama beliau kita akan tahu kapan seseorang harus berbicara, diam dan bagaimana kita harus beramal.  Sehingga ulama kita mengambil faidah dari perkataan Umar radhiyallahu 'anhu ini sunnahnya duduk dalam majelis-majelis ilmu.
Diantara hal yang menunjukkan urgensinya majelis ilmu :
·    Tidak akan merugi orang yang duduk di majelis ilmu, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits qudsi tentang seseorang yang duduk di majelis ilmu tanpa dia niatkan sebelumnya,
”Mereka adalah kaum yang tidak celaka/merugi orang-orang yang duduk bersama mereka” (HR.Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu )
·    Dalam sebuah hadits dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Said Al Khudry disebutkan tentang rahmat Allah, pengampunan Allah dan ketenangan yang dilimpahkan kepada tholabul 'ilmi (penuntut ilmu) .
Dan tidaklah berkumpul suatu kaum di rumah dari rumah-rumah Allah ; mereka membaca Al Quran dan saling mempelajarinya diantara mereka, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan, diliputi rahmat, dikelilingi oleh para malaikat dan Allah menyebut nama-nama mereka di sisi para malaikat (HR.Muslim)

2.    Keutamaan para sahabat yang pernah bermajelis dengan  Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka adalah orang yang paling semangat di dalamnya karena pengetahuan mereka yang sangat  mendalam tentang keutamaan majelis ilmu dan semangat ini diteruskan oleh para As Salaf Ash Sholih sesudah mereka.

Berikut ini contohnya :
·    Seorang Amirul Mu'minin dalam hadits Syu’bah bin Hajjaj jatuh sakit karena tidak sempat mudzakaroh (mengulangi pelajaran/hafalan) hadits.[1]
·    Beliau (Syu’bah bin al-Hajjaj juga pernah mengatakan: “ Setiap aku melihat orang yang berlari-lari, pasti aku katakan dia orang gila atau penuntut ilmu hadits.” [2]
Maksudnya penuntut ilmu hadits berlari karena mereka begitu semangatnya untuk mencari hadits yang merupakan harta warisan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abu Darda’ radhiyallahu 'anhu  bahwa shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
”Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi dan sesungguhnya Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham mereka hanya mewariskan ilmu dien, maka siapa yang telah mendapatkannya berarti ia telah mengambil bagian yang besar”  ( HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi)
·    Juga dikisahkan, bahwa kematian Husyaim adalah akibat berdesak-desakannya para pelajar atau penuntut ilmu hadits untuk mendatanginya: “Para penuntut ilmu hadits berdesak-desakan mendatanginya sehingga mejatuhkan beliau (tanpa sengaja) dari atas keledainya, dan itu menjadi penyebab kematiannya.”[3].

3.    Keutamaan duduk bersama orang-orang sholeh. 

Dimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Perumpamaan teman duduk yang sholeh dan teman duduk yang buruk ibarat penjual parfum dan peniup api/tukang besi. Adapun penjual minyak wangi maka; boleh jadi kamu akan diberi hadiah, kamu membeli minyak wangi tersebut atau kamu mencium darinya bau yang  wangi. Adapun peniup besi/pandai besi; kalau dia tidak membakar pakaianmu maka kau akan mendapat bau yang tidak sedap darinya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Seseorang akan menyesal akibat berteman dengan orang jahat di dunia, sebagaimana yang Allah subhaana wa ta'ala firmankan :
“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul." Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab (ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Qur'an ketika Al Qur'an itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia”.(QS. Al Furqan:27-29)

4.    Disyariatkannya mendatangi majelis ilmu

Imam Malik menegaskan :
"Ilmu didatangi bukan mendatangi."

Abdullah bin Abbas menceritakan : "Ketika wafat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saya berkata kepada seorang dari kalangan Anshar : 'Ayo kita pergi ke para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena hari ini jumlah mereka masih banyak' Laki-laki Anshar itu berkata : "Sungguh menakjubkan engkau wahai Ibnu Abbas apakah engkau menyangka orang akan membutuhkanmu padahal di tengah manusia masih banyak sahabat-sahabat (yang besar)?!. Orang Anshar itu tidak memenuhi ajakannya maka aku pergi untuk bertanya kepada sahabat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hadits; (suatu hari) saya mendengar ada seorang diantara mereka memiliki hadits maka saya mendatangi pintu rumahnya sementara dia sedang tidur siang maka aku bersandar pada pintunya beralaskan selendangku, hingga angin berhembus meniupkan tanah padaku. Pada saat sahabat itu telah terbangun dan keluar dari rumahnya lau berkata : 'Wahai sepupu Rasulullah apa yang membuatmu datang ke sini, mengapa engkau tidak mengutus seseorang agar aku yang mendatangimu!" Ibnu Abbas berkata : "Sayalah yang harus mendatangimu", lalu beliau bertanya tentang hadits..." [4].

Hal ini disebabkan oleh mulianya pahala orang yang mengadakan perjalanan untuk menuntut ilmu sebagaimana dalam suatu hadits :
”Dan barangsiapa yang menjalani sebuah jalan untu mencari ilmu maka Allah memudahkan baginya jalan menuju ke surga” (HR. Muslim).

Kita dapat melihat rihlahnya Nabi Musa alaihissalam untuk menuntut ilmu yang diceritakan dalam surat Al Kahfi (ayat 60-82), demikian pula para as salaf  ash-shalih [5].

5.    Pentingnya mempelajari ilmu langsung dari seorang guru dan tidak boleh mencukupkan dengan sekedar banyak membaca buku, Imam Auza'i mengatakan : "Dulunya ilmu ini mulia dimana orang-orang mengambilnya dari para guru namun ketika sudah masuk dalam buku-buku maka masuk juga dalam ilmu ini yang bukan ahlinya" [6] Karenanya  salah satu syarat seseorang dikatakan hafizh (ahli hadits) adalah mengambil ilmu/hadits langsung dari mulut para masyayikh (guru) bukan hanya lewat buku-buku sebagaimana yang disebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar [7].

6.    Jibril alaihissalam bisa berubah wujud menjadi manusia,  dan biasanya beliau datang dalam bentuk seperti seorang sahabat yang mulia Dihyah al-Kalbi radhiyallahu 'anhu,

Sebagaimana yang disebutkan oleh sahabat pada suatu kesempatan :  
"Dihyah Al kalbi lewat di depan kami  dan beliau itu jenggot, gigi dan wajahnya mirip Jibril alaihissalam " (HR. Ahmad).
Hadits ini juga sekaligus menunjukkan keutamaan sahabat yang telah melihat Jibril alaihissalam walaupun hanya dalam bentuk seorang manusia.

7.    Seorang yang duduk di majelis ilmu hendaknya memperbaiki penampilannya dan dalam    keadaan terbaik, demikian pula dengan kondisi dirinya.
8.    Anjuran untuk menghormati majelis ilmu (berhias) baik seorang pengajar ataupun pentuntut  ilmu. Sebagaimana yang  dicontohkan oleh Jibril alaihissalam dengan pakaiannya yang sangat putih. Karena  majelis ilmu adalah salah satu dari bagian syi'ar Allah dan didatangi oleh malaikat.

9.    Dianjurkannya mengenakan pakaian putih karena dia yang paling afdhol.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Pakailah pakaian yang putih, karena ia adalah pakaian terbaik bagimu dan  kafanilah orang yang meninggal diantara kalian dengannya". (HR. Tirmidzi).

10.    Keutamaan pakaian yang rapi dan bersih dalam segala hal, terutama jika hendak  masuk ke   masjid, hendak menuntut ilmu atau bertemu dengan seorang alim ; sebagaimana ulama salaf ketika akan menghadiri majelis ilmu maka mereka menghadirinya  dengan keadaan yang terbaik.

Allah subhaana wa ta'ala berfirman:
"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.(QS. Al A'raaf:31).

Ayat ini menunjukkan kesalahan yang sering terjadi pada kita; terkadang kita tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya, kadang kita lebih memperbaiki penampilan kita ketika berhadapan dengan manusia dibandingkan ketika kita berhadapan dengan Allah pada saat sholat. Padahal justru di hadapan Allah sepantasnya untuk kita mengagungkanNya dengan penampilan terbaik kita.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
"…karena sesungguhnya Allah yang paling berhak untukkita berhias kepada-Nya"[8].

Contoh para ulama salaf dalam menyikapi masalah ini:
·    Imam Malik : Beliau jika didatangi seseorang maka beliau bertanya dulu apakah ia datang untuk hanya berziarah atau untuk menuntut ilmu hadits, jika sekadar berziarah maka beliau hadapi dengan seadanya, namun jika untuk menuntut ilmu hadits maka beliau masuk ke dalam rumah untuk mandi, dan berpakaian indah dan memakai sorban, lalu berkata : "Saya ingin mengagungkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saya tidak mau membacakan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan tidak suci/kotor” [9].
·    Abu Hurairah radhiyallahu anhu : Beliau pernah bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan junub lalu beliau menghindar dengan alasan sedang junub dan tidak ingin bertemu dengan seorang alim dalam keadaan junub.
·    Diriwayatkan daripada Abu Hurairah  radhiyallahu 'anhu katanya: Beliau bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di salah satu jalan di Madinah, sedangkan beliau dalam keadaan berjunub. Maka dia menyelinap/mengelakkan diri dari bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pergi untuk mandi sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencari-carinya. Ketika beliau datang kembali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya: Kemana kamu pergi wahai Abu Hurairah? Beliau menjawab: Wahai Rasulullah! engkau berjumpa denganku sedangkan aku dalam keadaan berjunub. Aku merasa tidak enak duduk bersamamu sebelum aku mandi. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Maha Suci Allah! Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis” [10].

11.    Disyariatkannya mengagungkan Allah subhaana wa ta'ala dan syiar-syiar-Nya seperti ilmu dan ulama dengan zhohir dan batin. Allah subhaana wa ta'ala mencela orang yang beribadah kepada-Nya namun  tidak mengagungkan-Nya :

”Mengapa kamu tidak menghargai akan kebesaran Allah”. (QS. Nuh :13).

12.    Dengan rambut yang sangat hitam.

Ini menunjukkan kelebihan rambut hitam. 
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Barangsiapa yang memiliki rambut hendaknya dia memuliakannya “ (HR Abu Dawud)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh para sahabatnya untuk meyemir rambutnya jika beruban  agar menyelisihi kaum Yahudi dan Nashara. Namun menyemir ini dilarang dengan warna hitam sebagaimana dalam hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan merupakan fitrah manusia senang dengan rambut hitam sehingga terkadang banyak orang yang telah beruban berlomba-lomba untuk kembali menghitamkan rambutnya dengan cat/semir rambut. Maka hal ini merupakan imtihan (ujian) bagi mereka untuk bertaqwa kepada Allah dengan menghindari cat rambut hitam.

Dari hadits Jibril tersebut, rambut yang sangat hitam maksudnya rambut tanpa debu.           
Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tentang hadits Jibril  ini dari Imam Nasai [11] disebutkan bahwa Jibril datang dengan bau yang sangat harum. Dan Nabi kita menyukai dan menggunakan parfum serta menganjurkan muslim laki-laki untuk itu. Padahal  nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membutuhkan parfum.

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim [12]. Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu  berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumah kami lalu tidur  siang  hingga beliau berkeringat dan ibuku (Ummu Sulaim ÑÖí Çááå ÚäåÇ ) datang membawa botol untuk menadah keringat beliau pada botol tersebut, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terjaga dan berkata kepada Ummu Sulaim:"Wahai Ummu Sulaim apa yang kamu lakukan ?" Beliau  berkata:"Ini adalah keringatmu yang kami jadikan pada parfum kami dan dia adalah parfum yang terharum"

Maka ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai parfum sebenarnya merupakan ajakan dan penekanan kepada ummat ini (khususnya kaum lelaki) tentang pentingnya hal ini karena beliau yang sebenarnya tidak membutuhkannya namun senantiasa memakainya maka apatah lagi selainnya.

Sebagaimana masalah istighfar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beristighfar 100 kali sehari padahal beliau telah diampuni oleh Allah atas segala dosa beliau yang telah lampau dan yang akan datang. Maka hal ini tidak lain sebagai ajakan untuk ummat ini agar memperbanyak istighfar dan taubat kepada Allah subhaana wa ta'ala  .

Salah satu sebab diperintahkannya mandi sebelum sholat Jumat karena dahulu diantara sahabat ada yang datang untuk sholat Jumat dari tempat kerja mereka, lalu menebar bau yang tidak enak.

Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa para sahabat kalau menghadiri majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seakan-akan diatas kepala mereka ada burung-burung.[13] Menurut  ulama maknanya bahwa mereka tunduk khusyuk dan tidak bergerak sehingga burung tersebut tidak terbang.

Sahabat telah mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sebenarnya sampai di antara mereka ada yang sering bermajelis dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam namun dia tidak bisa melukiskan bagaimana wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena sangat segannya untuk menatap wajah beliau. Diantaranya adalah  Amr bin Ash radhiyallahu 'anhu seorang sahabat yang mulia- sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ketika  beliau akan meninggal dunia ia menangis dan mnemalingkan wajahnya ke tembok maka anaknya bertanya: “Wahai bapakku (mengapa engkau menangis) bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberi kabar gembira kepadamu dengan ini dan itu? Maka beliau menoleh sambil berkata : "Sesungguhnya hal yang afdhal yang kami siapkan adalah Syahadatain, saya telah menjalani kehidupan ini dalam 3 periode.( Pertama ketika saya musyrik) maka orang yang paling saya benci dan jengkel adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam  tidak ada orang yang paling saya ingin sakiti dan saya bunuh melainkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya saya mati saat itu maka tidak ada tempat saya kecuali neraka. (Periode kedua) ketika Allah subhaana wa ta'ala memberikan hidayah kepadaku dalam Islam maka tidak ada orang yang paling saya cintai dan yang saya sangat memuliakan melebihi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saya tidak kuasa memandang wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlama-lama sehingga seandainya waktu itu saya diperintahkan untuk melukiskan atau mensifatkan wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka saya tidak akan mampu, seandainya saya wafat pada saat itu maka saya berharap termasuk penghuni surga, kemudian datang kepada kami beberapa hal (periode ketiga) saya tidak mengetahui akan bagaimana keadaan saya saat itu...[14].

13.    Ulama kita selalu mengajarkan tentang adab dalam majelis ilmu.

Imam Abdurrahman bin Mahdi [15]; tidak memperbolehkan seorangpun berbicara dalam majelisnya bahkan tersenyum atau mengkorok-korok pinsilnya kalau beliau mendengarkan atau mengetahui hal itu maka beliau langsung meninggalkan majelis ilmunya. Sehingga majelis-majelis terdahulu khusyu' dan dirahmati Allah subhaana wa ta'ala. Maka kosongnya hati kita sekarang ini dari hidayah Allah meski sering mengikuti pengajian karena berkah ilmu tidak datang. Dan salah satu cara mengundangnya adalah dengan mengamalkan sunnah dan adab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam majelis ilmu.

(Referensi)
[1] Syaraf Ashhabil Hadits (hal 115 no: 260)
[2] Lihat: Jami’u Akhlaqi ar-Raawi wa Adabis Sami’(1:152)
[3] Sebagaimana yang diceritakan oleh al-Khattabi dalam kitabnya al-‘Uzlah hal. 101, yang kami kutip dari Hilyatul Alim Al Mu'allim (hal 23)
[4] Diriwayatkan oleh Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak (1:188-189 no. 363)
[5] Baca kisah-kisah mereka dalam : "Ar Rihlah fi Thalabil Hadits" (karya Imam Al Khathib Al Baghdadi)
[6] Lihat : Hilyatu Tholib Al 'Ilm (hal 33)
[7] An Nukat 'ala Ibn Ash Sholah (1:268)
[8] Lihat : Tamamul Minnah (hal 164)
[9] Manaqib Al Imam Malik bin Anas oleh Al Qadhi Isa Azzawawi (hal.140-141)
[10] Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab Mandi No 274,276:Muslim  dalam kitab Haid No 556; At-Tirmidzi dalam Kitab   Bersuci No112, An-Nasai dalam kitab Bersuci no. 269  dll
[11] Sunan An Nasaai (4991)
[12] Shohih Muslim; Kitab Al Fadhoil, Bab Thib 'Araqin Nabi (2331)
[13] Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya (3855)
[14] Shohih Muslim ; Kitab Al Imam, Bab Kaunul Islam Yahdimu Maa Qablahu (121)
[15] Seorang ulama besar semasa dengan Imam Syafi’i

(Dari artikel Al Wahdah dengan berbagi perubahan)

1 komentar: